Minggu, 04 Juli 2010

Surat Paus pada Hari Doa Panggilan Sedunia ke-47 - 2010

0 komentar
Kepada yang terkasih:
Saudara-saudaraku para Uskup dan para Imam, dan
Saudara-saudari seiman sekalian.



Hari Doa Panggilan Sedunia yang ke 47, yang akan dirayakan pada hari Minggu Paskah ke IV sering kali disebut " Hari Minggu Gembala Yang Baik “ tgl. 25 April 2010, memberi saya kesempatan untuk menyampaikan sebuah permenungan dengan tema yang kiranya sangat cocok untuk Tahun Imam pada tahun ini, yaitu: Kesaksian Membangkitkan Panggilan. Buah usaha keras kita untuk mempromosikan panggilan pertama-tama bergantung pada tindakan bebas Allah semata. Namun demikian pengalaman pastoral menunjukkan bahwa promosi panggilan ini dapat dibantu melalui kualitas dan kedalaman kesaksian baik personal maupun komunal dari mereka yang telah menjawabi panggilan Tuhan baik dalam pelayanan imamat maupun hidup bakti, karena kesaksian hidup mereka mampu membangkitkan dalam diri orang lain suatu keinginan untuk menanggapi panggilan Kristus dengan tulus hati. Dengan demikian tema ini bertalian erat dengan kehidupan dan tugas perutusan para imam dan kaum religius. Oleh karena itu saya ingin mengajak semua orang yang telah dipanggil oleh Tuhan untuk bekerja di kebun anggur-Nya, untuk membaharui kesetiaan jawaban mereka, khususnya pada Tahun Imam ini sebagaimana yang sudah saya promulgasikan pada Peringatan 150 Tahun Wafatnya St. Yohanes Maria Vianney, seorang Pastor (Curẻ) dari Ars, sebagai model yang tak lekang waktu bagi seorang imam dan gembala.

Dalam Perjanjian Lama para nabi sadar bahwa mereka dipanggil untuk memberi kesaksian melalui kehidupan mereka sendiri pesan yang harus mereka wartakan. Dan mereka dipersiapkan untuk menghadapi kesalah-pahaman, penolakan dan pengejaran terhadap mereka. Tugas yang Allah percayakan kepada mereka sangat menuntut komitmen mereka bagaikan “api yang menyala-nyala†dalam hati mereka, suatu api yang tak dapat dipadamkan (bdk. Yer 20:9). Hasilnya, mereka sebenarnya dipersiapkan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, bukan hanya kata-kata tetapi juga seluruh diri mereka. Hingga pada kepenuhan waktu, Tuhan Yesus diutus oleh Bapa-Nya (bdk.Yoh 5:36) untuk memberi kesaksian tentang kasih Allah bagi seluruh bangsa manusia, tanpa membeda-bedakan, khususnya perhatian terhadap mereka yang paling kecil, kaum pendosa, kaum tersingkirkan dan kaum miskin. Yesus adalah Saksi yang Paling Agung bagi Allah dan bagi tugas keselamatan bagi semua orang. Dan menjelang akhir masa yang baru itu, Yohanes Pembaptis, dengan membaktikan seluruh hidupnya untuk mempersiapkan jalan bagi Kristus, memberi kesaksian bahwa janji-janji Allah sesungguhnya telah terpenuhi dalam diri Putra Maria dari Nasaret. Ketika Yohanes melihat Yesus datang ke sungai Yordan dimana ia sedang membaptis, ia menunjukkan Yesus kepada para muridnya sebagai 'Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia' (Yoh 1:29). Kesaksiannya begitu efektif sehingga membuat dua muridnya 'mendengarkan dia, dan mengikuti Yesus'(Yoh 1:37).

Demikian juga panggilan St. Petrus, sebagaimana kita baca dalam Injil Yohanes. Panggilannya terjadi berkat kesaksian saudaranya Andreas, yang telah bertemu sendiri dengan Sang Guru dan menerima ajakan-Nya untuk tinggal bersama Dia. Andreas merasa bahwa ada suatu kebutuhan untuk segera disampaikan kepada Petrus apa yang baru saja dia temukan dengan 'tinggal' bersama dengan Tuhan: Kami telah menemukan Mesias (yang berarti Kristus). Kemudian ia membawa Petrus kepada Yesus (Yoh 1:41-42). Hal yang sama terjadi pada diri Natanael atau Bartolomeus. Syukurlah berkat kesaksian murid yang lain, Filipus, dengan penuh sukacita menceritakan kepada Petrus tentang penemuan yang besar itu: “Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para Nabi, yaitu Yesus dari Nasaret anak Yusuf†(Yoh 1:45). Inisiatif Allah yang bebas dan simpatik tersebut menuntut tanggung-jawab semua orang yang telah menerima undangan-Nya untuk menjadi sarana panggilan ilahi-Nya, melalui kesaksian mereka sendiri. Hal ini juga terjadi dalam Gereja saat ini: Tuhan menggunakan kesaksian para imam yang tetap setia terhadap tugas perutusan mereka agar dapat membangkitkan panggilan imam dan religius yang baru demi pelayanan umat Allah. Karena alasan inilah, saya ingin menunjukkan tiga aspek kehidupan dari seorang imam yang saya pandang sangat hakiki untuk kesaksian imamat yang efektif.

Aspek pertama dan yang paling mendasar, dan ini dapat dilihat dalam setiap panggilan imamat dan hidup bakti, yaitu persahabatan dengan Yesus. Yesus selalu tinggal dalam persekutuan dengan Bapa dan inilah yang membuat para murid semakin penasaran untuk memiliki pengalaman yang sama. Dari Dia-lah para murid belajar untuk tinggal dalam persekutuan dan komunikasi timbal-balik (dialogue) yang tak pernah putus dengan Allah. Jika seorang imam itu adalah manusia Allah (man of God), yaitu seseorang yang menjadi milik Allah dan membantu sesamanya untuk mengenal dan mengasihi Dia; maka ia tidak akan merasa sia-sia untuk menghayati kemesraan yang mendalam dengan Allah, tinggal dalam kasihNya dan siap sedia mendengarkan firmanNya. Doa adalah bentuk pertama kesaksian yang dapat membangkitkan panggilan. Sama seperti Rasul Andreas, yang menyampaikan kepada saudaranya bahwa dia telah melihat Sang Guru, demikian pula setiap orang yang ingin menjadi seorang murid dan saksi Kristus harus “telah melihat†Dia secara pribadi, yaitu mengenal Dia, belajar mengasihi Dia dan tinggal bersama Dia.

Aspek kedua yang termasuk dalam pengudusan hidup imamat dan hidup bakti adalah penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Rasul Yohanes menulis: Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kita-pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita (1 Yoh 3:16). Dengan firman ini, Rasul Yohanes mengajak para murid untuk masuk ke dalam pikiran Yesus yang dalam seluruh hidupNya hanya melakukan kehendak Bapa hingga sampai menyerahkan hidupNya di atas Salib. Di sinilah kasih Allah dinyatakan secara penuh; yaitu kasih yang telah mengalahkan kegelapan setan, dosa dan kematian. Kisah Yesus pada Perjamuan Terakhir: Dia bangkit dari meja perjamuan, menanggalkan jubahNya, mengambil kain (lenan) dan mengikatkannya pada pinggangNya, dan Ia membungkuk untuk membasuh kaki para muridNya. Kisah ini mau mengungkapkan makna pelayanan dan pemberian Diri seutuhnya, demi ketaatanNya kepada kehendak Bapa (bdk. Yoh 13:3-15).

Dalam mengikuti Yesus, setiap orang dipanggil kepada suatu pengudusan hidup secara sangat khusus untuk memberi kesaksian bahwa ia telah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Inilah yang pada gilirannya menjadi sumber kekuatannya untuk memberi diri kepada mereka yang telah dipercayakan oleh Sang Penyelenggara Illahi dalam pelayanan pastoral secara penuh. Ini adalah suatu pengabdian yang terus menerus dan dengan gembira menjadi rekan dalam perjalanan bagi banyak saudara. Demikian juga dengan penyerahan diri memampukan mereka membuka diri terhadap perjumpaan dengan Kristus, supaya FirmanNya menjadi suluh bagi langkah mereka. Kisah tentang setiap panggilan hampir selalu kait-mengait dengan kesaksian seorang imam yang dengan senang hati menghidupi anugerah yang ada pada dirinya kepada saudara-saudarinya demi Kerajaan Allah. Terjadi demikian karena kehadiran dan kata-kata seorang imam mempunyai kekuatan untuk membangkitkan pertanyaan-pertanya an dan bahkan mampu menghantar kepada suatu keputusan final (bdk. Yohanes Paulus II, Himbauan Apostolik, Pastores Dabo Vobis, 39).

Aspek ketiga yang memberikan ciri khas pribadi seorang imam dan religius adalah hidup dalam persekutuan. Yesus menunjukkan bahwa tanda bagi seseorang yang ingin menjadi seorang murid adalah persekutuan yang mendalam dalam kasih: Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi (Yoh 13:35). Dengan cara hidupnya yang khusus, seorang imam harus menjadi sosok pribadi persekutuan (man of communion): terbuka bagi semua orang, mampu menyatukan semua orang yang telah Tuhan percayakan kepadanya menjadi satu kawanan peziarah, membantu mengatasi aneka perpecahan, mampu memulihkan keretakan, mampu menangani konflik dan kesalah-pahaman, mampu mengampuni kesalahan-kesalahan . Pada bulan Juli 2005, ketika saya berbicara kepada kaum klerus di Aosta, saya menegaskan bahwa jika kaum muda melihat para imam mereka menjauh dan nampak murung, mereka tidak mungkin dapat mengikuti teladannya. Mereka akan tetap ragu-ragu jika mereka diajak untuk merenungkan tentang kehidupan seorang imam seperti itu. Sebaliknya, mereka ingin melihat contoh konkrit persekutuan hidup yang mengungkapkan keindahan menjadi seorang imam. Hanya dengan cara demikian kaum muda akan mengatakan, Ya, yang ini mungkin menjadi masa depan saya; saya rasa mampu menghayati hidup seperti ini(Insegnamenti I, [2005], 354). Konsili Vatikan II, yang berbicara tentang kesaksian yang membangkitkan panggilan, menekankan contoh kasih dan kerjasama fraternal yang harus ditawarkan oleh seorang imam (bdk. Dekrit Optatam Totius, 2).

Di sini saya ingin mengingatkan kembali kata-kata pendahulu saya, Venerabilis Yohanes Paulus II: Kehidupan yang paling hakiki dari para imam, pengabdian mereka kepada kawanan Allah tanpa syarat, kesaksian pelayanan kasih kepada Tuhan dan kepada Gereja-Nya suatu kesaksian yang ditandai oleh penerimaan secara bebas akan Salib dalam semangat pengharapan dan kegembiraan Paskah kesatuan dan semangat persaudaraan demi pewartaan Injil kepada dunia adalah faktor utama dan paling meyakinkan untuk pertumbuhan panggilan (Pastores Dabo Vobis, 41). Dapat dikatakan bahwa panggilan imam lahir karena kontak dengan para imam, bagaikan suatu harta peninggalan yang berharga diwariskan melalui kata, teladan dan seluruh gaya hidupnya.

Hal serupa dapat berlaku untuk hidup bakti. Hakikat hidup kaum religius pria dan wanita adalah mewartakan kasih Kristus kapan saja ketika mereka mengikuti Kristus dengan ketaatan penuh terhadap Injil dan dengan senang hati mendasarkan pertimbangan dan perbuatan mereka menurut ketentuan Injil. Mereka menjadi “simbol pertentangan†dunia, karena pola pikir dunia kerap kali dipengaruhi oleh materialisme, egoisme dan individualisme. Dengan membiarkan diri dipenuhi oleh Allah melalui penyangkalan diri, maka kesetiaan dan kekuatan kesaksian mereka secara terus-menerus akan membangkitkan dalam hati banyak orang muda keinginan untuk mengikuti Kristus dengan tulus dan sepenuh hati. Mengikuti Kristus yang murni, miskin dan taat, dan menyerupai Dia adalah cita-cita hidup bakti, yaitu suatu kesaksian tentang supremasi Allah yang tak terbatas dalam hidup dan sejarah manusia.

Setiap imam, setiap religius, yang setia terhadap panggilannya, memancarkan kegembiraan dalam melayani Kristus dan akan menarik semua orang Kristen untuk menanggapi panggilan universal kepada kekudusan. Konsekwensinya, agar dapat mendukung panggilan untuk pelayanan imam dan hidup bakti, dan agar lebih efektif dalam mempromosikan kejelian panggilan, maka tak mungkin kita mampu melakukan itu semua tanpa contoh nyata atau teladan dari mereka yang telah mengatakan “ya†kepada Allah dan rencana-Nya bagi kehidupan masing-masing individu. Kesaksian pribadi, dalam aneka bentuk pilihan hidup yang konkrit, akan mendukung kaum muda untuk mengambil keputusan penting demi menentukan masa depan mereka. Kaum muda yang ingin memilih jalan ini perlu memiliki ketrampilan untuk bergumul dan berdialog agar dengan ketrampilan- ketrampilan tersebut mereka mampu menerangi dan mendampingi, terlebih lagi teladan kehidupan nyata dalam menghayati suatu panggilan. Inilah yang dilakukan oleh Pastor (Curẻ) kudus dari Ars: dia selalu mengadakan kontak yang akrab dengan umat parokinya, mendidik mereka pertama-tama melalui kesaksian hidupnya. Hanya dari teladan hidupnya, kaum beriman belajar berdoa (Surat Promulgasi Tahun Imam, 16 Juni 2009).

Semoga Hari Doa Sedunia Untuk Panggilan ini sekali lagi mampu menawarkan bagi banyak kaum muda kesempatan untuk merenungkan panggilan mereka dan tetap setia pada panggilannya dalam kesederhanaan, keyakinan iman dan keterbukaan diri secara penuh. Semoga Perawan Maria, Bunda Gereja, memperhatikan setiap benih panggilan di dalam lubuk hati orang-orang yang dipanggil Tuhan untuk mengikuti Dia secara lebih dekat, semoga dia membantu benih panggilan ini tumbuh menjadi pohon yang besar, menghasilkan buah-buah kebaikan secara berlimpah bagi Gereja dan bagi seluruh bangsa manusia. Melalui doa ini saya sertakan Berkat Apostolikku bagi kamu semua.

Paus Benediktus XVI

Jumat, 02 Juli 2010

GERAKAN TARBIYAH : VISI, MISI DAN STRATEGINYA

0 komentar
Dr. Zuly Qodir
Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah 2005-2010, pendidik di Universitas Islam Negeri Yogyakarta dan peneliti PSKP UGM


Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indonesia. Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus yang tidak berbasis keislaman seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Univ. Brawijaya berkembang kelompok kelompok pengajian kampus, yang sering disebut sebagai Gerakan Dakwah Kampus, jamaah mushola, usrah-usrah, kelompok tarbiyah, dan halaqah.

Kelompok-kelompok gerakan Islam Kampus ini sekurang-kurangnya mempunyai cirri-ciri memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi), memanjangkan jilbab yang sebelumnya pemakaian jilbab hanyalah identik dengan krudung (kerudung Mbak Tutut/Ibu Shinta Abdurrahman Wahid), belakangan berkembang menjadi jilbab Astri Ivo, Inneke Koesherawati, Desy Ratnasari, Ratih Sanggarwati, bahkan sebelumnya jilbab dan mukena Krisdayanti bagi kelompok jamaah pengajian kampus yang perempuan.

Sementara untuk kelompok laki-lakinya, selain memanjangkan jenggot, memakai pakaian congklang dan baju gamis (kita bilang baju koko), menghitamkan jidad, dan memanggilnya dengan sebutan “ana” untuk saya dan “antum” untuk anda atau kamu. Dua kosa kata ini hampir senantiasa dipakai oleh kelompok jamaah pengajian kampus sehingga membedakan dengan kelompok jamaah lainnya. Bahkan ada yang menyebutnya dengan panggilan “ikhwan” dan “akhwat”, identifikasi pada Ikhwanul Muslimin.

Perkembangan kelompok tarbiyah, halqah, usrah, dan gerakan dakwah kampus ini terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia. Gerakan tarbiyah (untuk menyebut seluruh kelompok dalam tulisan ini), sejak tahun 1998, pasca tumbangnya Soeharto mendirikan Partai Keadilan yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera, sebab tahun 1999 tidak memenuhi electoral threshold, sehingga merubah Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Jika kelompok tarbiyah (kemudian mendirikan Partai Keadilan) sekarang PKS, sebagai transmisi dari Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna, maka ada kelompok lain yang sejak awal memang menyebut partai politik yakni Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani di Jordania. Dua-duanya merupakan gerakan Islam politik yang memiliki basis massa pada kelompoknya masing-masing, hanya belakangan dalam menyebarkan gagasannya dibungkus dalam gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU.

Dua kelompok Islam inilah yang dalam dalam tulisan ini akan diperjelas dalam hal gerakan yang dilakukan dalam mengembangkan sayapnya di masyarakat Islam Indonesia dan muara dari seluruh gerakannya, sekalipun dalam berbagai bentuknya yang manipulatif, sehingga membuat sebagian umat Islam (Muhammadiyah dan NU) terutama anak-anak mudanya tergiur untuk mengikutinya dengan tawarantawaran yang disampaikan, yang seakan-akan lebih bagus dan memadai, serta memiliki peran lebih hebat dari Muhammadiyah dan NU dalam memberikan kontribusi buat Islam dan Indonesia.

Strategi Gerakan
G
erakan tarbiyah (PKS) menjadi memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumnialumninya dari Timur Tengah. Ada perubahan - perubahan metode, materi, dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung. Namun perubahan terus dilakukan pada saat reformasi telah berlangsung 1998. Gerakan tarbiyah melakukan gerakan pada masyarakat dengan berbasiskan masjid-masjid, semula dari masjid kampus sebagaimana awal pendiriannya. Masjid Salman ITB adalah cikal-bakal gerakan tarbiyah berlangsung di Indonesia.


Gerakan ideologisasi dilakukan dengan dua stragei besar. Pertama, persebaran gagasan Islam yang mereka kemas untuk masyarakat umum secara luas. Gerakan yang mereka lakukan dengan cara penyelenggaraan program peribadatan, seperti training ke-Islaman di sekolah-sekolah berupa training Islam untuk pemula (Islamic training for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku yang seideologi, memberikan ceramah-ceramah (gratis), termasuk menyediakan khatib yang siap pakai, pembinaan anak-anak (TK-SD), belakangan dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK-IT) yang jumlahnya ratusan sehingga bersaing dengan TK ABA (milik Aisyiyah) dan TK Raudhatul Athfal (milik Muslimat NU), memberikan kursus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus kursus untuk remaja Muslim, pengiriman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah) , penterjemahan buku-buku berbahasa arab yang se ideologi (Ikhmanul Muslim), program penerbitan buku-buku Islam, dokumentasi kegiatan, dan konsultasi-konsulta si.

Kegiatan-kegiatan di atas dikemas sedemikian rupa sehingga yang baru pertama mendengar dan melihat pasti akan tertarik, bahkan menyangka sama dengan gerakan dakwah Islam yang dilakukan Muhammadiyah dan NU. Tetapi jika diikuti dan diamati lebih jauh sebenarnya bukan saja menyamai program dakwah Muhammadiyah dan NU, tetapi malah mengambil alih program dakwah Muhammadiyah dan NU, dengan memanfatkan jamaah Muhammadiyah dan NU yang telah dibina oleh dua persyarikatan terbesar di Indonesia tersebut.


Hal itu yang hemat saya perlu dicermati dan diwaspadai, sebab sebagai gerakan politik, etika biasanya adalah omong kosong, yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring agar mengikuti) ideologinya. Nanti jika sudah menjadi jamaahnya, maka bukan suatu hal yang mustahil akan berbalik untuk menjelekkan kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam membangun masyarakat yang bermartabat, memiliki nilai-nilai moralitas (etika) yang bagus, dengan menafikan apa yang dikerjakan Muhammadiyah dan NU dengan menegasikan bahkan konfrontasi dengan tuduhantuduhan apa yang dilakukan Muhammadiyah dan NU sekarang sudah tidak mencukupi dan tidak relevan untuk Islam Indonesia.

Kedua, strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan training training yang intensif untuk anak-anak, remaja, dan mahasiswa. Studi Islam Intensif, Latihan Mujahid Dakwah dan Training untuk Pembina, dilakukan secara berjenjang dan benar-benar intensif, seperti pemberian materi tentang shalat, puasa, zakat dan haji, di samping Iqra. Oleh sebab itulah, tidak heran bila kelompok tarbiyah (PKS) menyediakan pendidik-pendidik Iqra untuk anakanak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk ibu-ibu dan remaja Muslim di lingkungan Muhammadiyah danNU.


Dalam perkembangannya, sejak tahun 1990-an, sistem gerakan tarbiyah mengalami perkembangan yang lebih mengerikan, seperti mengadakan pertemuan-pertemuan (liqa), dauroh, rihlah (wisata), mabit (kegiatan malam), mukhoyyam (berkemah), seminar, dan bedah buku. Kegiatan malam belakangan bahkan mengarah pada konsultasi penyakit dan pengobatan dengan praktek mendekati perdukunan dengan mantra-mantra (rukyah) pengusir demit. Selain strategi ini, gerakan tarbiyah juga menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasangagasannya. Jika tidak bisa menerbitkan majalah sendiri maka mengusai media yang sudah ada dengan mainstream gagasan yang didesakkan pada edisi-edisi tertentu, sehingga masyarakat pembaca melihat apa yang menjadi gagasannya, sekaligus dengan mendompleng (masuk) dalam majalah jamaah lain seperti majalah milik Muhammadiyah (seperti Majalah Tabligh PP Muhammadiyah maupun milik NU) bseakan-akan Muhammadiyah dan NU membenarkan dan mendukung cara-cara yang mereka lakukan. Tidak perlu mengeluarkan biaya produksi, honorarium dan sebagainya, gagasannya dilihat oleh orang Muhammadiyah dan NU dan mendapatkan pembenar.

Stragegi di atas sebenarnya sudah meresahkan Muhammadiyah dan NU, tetapi bukan hanya itu, kita tahu sebagai gerakan politik, maka secara perlahan-lahan dalam rangka memperluas jaringan politik dan gerakannya, maka amal usahaamal usaha Muhammadiyah dan NU seperti sekolah-sekolah, masjidmasjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan NU dikelola oleh mereka dengan menyediakan khotibnya, gurunya untuk TK-SMP, bahkan ikut menjadi pengurus Muhammadiyah dan NU dengan identitas Muhammadiyah dan NU dengan dalih dalam rangka mengembangkan dakwah Islam amar m’ruf nahi munkar. Dan yang paling popular adalah pengamalan syariah Islam.

Dengan doktrin sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’rf nahi munkar dan pengalaman syariah Islam maka, orang Muhammadiyah dan NU terkecoh habis-habisan sebab tidak mungkin melarang orang Islam yang berdakwah Islam. Tetapi, hemat saya mulai saat ini, orang Muhammadiyah dan NU harus beanar-benar menyadari, sebab gerakan tarbiyah adalah gerakan politik praktis yang berkedok dakwah yang sungguhsungguh sangat berbahaya, karena bukan tidak mungkin akan melakukan pengambilalihan atas amal usaha yang sekarang kita miliki. Sebelum terlambat, hemat saya, warga Muhammadiyah dan NU harus bergerak secara bersamasama merapatkan barisan menentang cara-cara yang dilakukan kelompok tarbiyah dengan mengajukan pertanyaan kritis, untuk apa gerakan politik harus berkedok dakwah Islam, sebab sangat jelas mengaburkan dan memanfaatkan Islam untuk kepentingan kelompoknya bukan kepentingan semua masyarakat Islam.

Tidak berbeda jauh dengan gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia juga melakukan gerakannya dengan metode yang bervariatif, dengan materi yang beragam tetapi muaranya adalah politik Islam, yakni dengan mendeklarasikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Beberapa gerakan yang dilakukan antara lain menggunakan tiga tahapan (marhalah). Pertama, marhalah tasqif (tahap pembinaan). Pada tahap ini yang dibentuk adalah kader-kader partai. Kedua, marhalah tafa’ul ma’a al ummah (tahap interaksi dengan masyarakat. Pada tahap ini kader partai diturunkan di tengah masyarakat. Mereka mengemukakan gagasannya dengan menjawab masalahmasalah yang muncul dengan simbol-simbol Islam, misalnya ekonomi Islam, politik Islam, partai Islam dan seterusnya sehingga Islam oleh masyarakat dianggap sebagai obat segala obat persoalan masyarakat yang demikian kompleks dan kontekstual. Islam dikemas agar “cespleng” dengan problem riil penduduk Indonesia, sekalipun tidak terjadi sampai saat ini. Ketiga, marhalah istilam alhukm (pengambilalihan kekuasaan). Setelah masyarakat diindoktrinasi dengan gagasangagasan yang diambil dari Taqiyuddin Nabhani diharapkan masyarakat menuntut pemberlakuan syariah Islam dan didirikannya Negara Islam.

Dalam menuju tiga tahapan aktivitasnya, ada beberapa kegiatan yang dikerjakan antara lain melalui jaringan dakwah kampus, menguasai masjid-masjid kampus, menyelenggarakan pengajian pengajian untuk umum, baik masyarakat, mahasiswa maupun pelajar sehingga yang tertarik akan dijadikan kader partai setelah dibina, mereka melakukan daurohdaurah dan halaqah yang diikuti oleh 10-15 orang. Dalam rekrutmen dan pengkaderan HTI memaki sistem stelsel, selain bila sudah menjadi kader dan datang dalam forumforum akan berupaya menguasai forum dengan menempatkan orangorangnya di semua sudut ruangan untuk berkomentar, bertanya, interupsi dan mendebat dengan bertubi-tubi.

Pengalaman diskusi di arena Muktamar Malang adalah bukti konkretnya. Selain pengalaman penulis di forum-forum seminar yang dihadiri aktivis HTI. Hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari Muhammadiyah dan NU adalah bahwa HTI sekarang telah masuk pada Muhammadiyah dan NU. Mereka menjadi pengurus di organisasi Muhammadiyah dan NU, bahkan belakangan menjadi idola di Muhammadiyah dan NU sehingga senantiasa diundang oleh anakanak dan orang-orang Muhammadiyah dan NU yang sejatinya tidak mengetahui siapa sebenarnya latar belakang narasumber tersebut.

Muaranya Politik Kekuasaan
Dari seluruh rangkaian kegiatan yang dibungkus dalam lebel dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, adalah bermuara pada politik sebagai tujuan akhirnya. Oleh sebab itu, sebenarnya yang mestinya dipahami sejak sekarang sebelum terlambat adalah gerakan politiknya harus kita sampaikan pada masyarakat sehingga masyarakat sadar bahwa yang dilakukan gerakan tarbiyah dan HTI adalah gerakan kekuasaan, bukan gerakan keislaman.


Beberapa tokoh gerakan tarbiyah (PKS) seperti Hidayat Nurwahid (Ketua MPR) dan tokohtokoh HTI, antara lain Adian Husaini, Ismail Yusanto, dan Al Khatat adalah masuk dalam jajaran pengurus Muhammadiyah. Di Yogjakarta. Mereka masuk di universitas - universitas u Muhammadiyah menjadi dosen di beberapa fakultas dan mengajar beberapa mata kuliah, termasuk keislaman.

Untuk melancarkan gerakan politiknya, gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti Majalah Sabili, Hiyatatullah, sampai malajah porno semacam POP, tetapi tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum; membentuk jamaah pengajian Sidiq, membentuk kelompok Nasyid, membentuk lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka Al-Kautsar, RobbaniPress, Al-Ishlahy Press, I’tishom, Era Intermedia, As-Syamil, dan sebagainya.

Penerbitan-penerbit an HTI juga demikian banyak, tetapi lebih menyukai mendompleng dengan penerbitan yang sudah ada di organisasi Islam lain yakni dalam Muhammadiyah dan NU. Itulah, yang sekarang sedang kita hadapi, Muhammadiyah dan NU sedang menghadapi sebuah pertarungan besar yang mengatasnamakan sesama Islam dan dakwah Islam sehingga seringkali mengacaukan masyarakat tatkala akan bertindak tegas pada mereka. Padahal gerakan tarbiyah dan HTI sejatinya adalah gerakan politik kekuasaan.