Senin, 21 Februari 2011

Keluarga sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman

0 komentar

Pesan Paus Benediktus XVI pada penutupan pertemuan keluarga internasional di Mexico, 18 Januari 2009 yang lalu sangat menarik untuk disimak. Paus Benediktus XVI mengajak keluarga-keluarga merefleksikan dan melakukan introspeksi atas identitas dan tugas perutusannya sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman dengan tolok ukur Keluarga Kudus, pelindung keluarga kristiani.

“Keluarga Nazareth menyambut kehadiran-Nya, dan melindungi-Nya dengan cinta kasih, keluarga itu memasukkan Dia ke dalam ketaatan tradisi keagamaan dan hukum masyakarat, mereka mendampingi dan membimbingnya bertumbuh dalam kedewasaan manusiawi dan tugas perutusan yang sudah ditetapkan bagi-Nya”

Bapa Suci menunjukkan bagaimana bapa Yosef dan bunda Maria sebagai orangtua mempersiapkan Yesus dalam lingkungan yang diwarnai kasih dan ketaatan pada tradisi keagamaan dan norma-norma hukum, sehingga Ia berkembang dalam kebijaksanaan, dan dikasihi Allah dan manusia (bdk. Luk. 2: 52). Dengan menegaskan hal ini, Paus mengingatkan kita semua bahwa keluarga adalah sekolah kemanusiaan dan kehidupan kristiani bagi semua anggota.

Sebagai manusia, setiap pribadi mempunyai kebutuhan manusiawi, yakni mengasihi dan dikasihi, memperhatikan dan diperhatikan, dan bertumbuh secara holistik: jasmani dan rohani. Maka tidak boleh dilupakan bahwa sebagai manusia yang diciptakan dalam citra wajah-Nya, setiap pribadi juga mempunyai kecenderungan kepada yang transenden: berelasi dengan Bapa, Penciptanya. Inilah kebutuhan paling fundamental dan konstitutif dari setiap pribadi. Pribadi-pribadi yang terpenuhi kebutuhan dasarnya ini akan menjadi pewarta-pewarta kasih Allah yang sejati dalam membangun kehidupan bersama dalam masyarakat.

Refleksi ini sangat penting bagi keluarga-keluarga yang hidup di zaman modern ini, di mana perkembangan dan kemajuan tekhnologi sangat mempengaruhi perilaku setiap pribadi dalam keluarga. Salah satu tantangan serius yang dihadapi dan dialami oleh keluarga-keluarga zaman ini adalah situasi dan kondisi lingkungan yang diwarnai oleh sarana komunikasi modern. Keluarga-keluarga harus melaksanakan tugas perutusannya memberikan pendidikan nilai kemanusiaan dan iman kepada anak-anak yang mau tidak mau pribadinya sudah dipengaruhi dan bahkan “dibentuk” oleh sarana komunikasi itu, yang seringkali menyampaikan berita dan program acara yang bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai yang ingin kita hayati dalam keluarga. Demikian dikatakan oleh Uskup Agung Claudio Maria Celli dalam pesannya yang disampaikan melalui Catholic.net TV.

Namun demikian bukan berarti bahwa kita harus menolak dan ketakutan terhadap keberadaan sarana komunikasi yang semakin berkembang pesat. Keluarga-keluarga harus memanfaatkan media komunikasi tersebut untuk mewartakan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman kepada anak-anak. Mereka harus dididik supaya dapat menggunakan sarana komunikasi tersebut untuk mempertajam dan mendewasakan kemanusiaan dan imannya. Misalnya film yang bagus dapat menjadi bahan pembinaan kepribadian anak dalam menyadari tugas perutusannya sebagai citra wajah Allah dalam keluarga dan masyarakat di zaman budaya digital ini.

Jadi, seluruh refleksi teologis dalam pertemuan keluarga sedunia ini sangat penting dan perlu diletakkan dalam kerangka pikir himbauan Gereja kepada keluarga-keluarga untuk kembali pada jatidirinya sendiri dan tugas perutusannya. Keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya!” Demikian himbauan Paus Yohanes Paulus II beberapa puluh tahun yang lalu melalui Himbauan apostoliknya Familiaris Consortio. Sebagai pendidik dan sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman, keluarga harus membangun kerjasama dengan komunitas sekolah, Negara, dan Gereja. Tiga lembaga itu menurut kodratnya, juga mempunyai tugas dan tanggungjawab memberikan pendidikan kepada anak-anak. Tetapi pelaksanaan tugas dan hak ketiga lembaga itu bersifat kontributif. Karena orangtua adalah pendidik yang utama dan pertama bagi anak-anak.

Penegasan bahwa orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak dalam kehidupan iman dan moral bukanlah suatu pengajaran yang tanpa dasar. Dasar-dasar tersebut dapat kita temukan dalam Kitab Suci dan beberapa ajaran Gereja.

A. Pendidikan Anak dalam Keluarga Menurut Kitab Suci

1. Perjanjian Lama

Dalam kitab Amsal kita temukan banyak ayat yang berbicara tentang pendidikan anak dalam keluarga. Di sana termuat banyak nasehat orang tua kepada anak-anak. Pada bab pembukaan ditekankan adanya wewenang orang tua untuk mendidik anak-anak mereka (lih. Ams. 1: 8-9). Wewenang itu tampaknya diilhami kitab Ulangan 6 : 6-7, yang menekankan bahwa para bapa keluarga harus mengajar anak-anaknya, terutama dalam hal kepercayaan dan praktek religius.

Anak-anak tidak boleh melawan atau menentang orang tua. Sebaliknya, mereka harus mentaatinya tanpa syarat. Sebab pendidikan dari orang tua bertujuan untuk membantu anak-anak menemukan jalan hidup dan memperoleh kesuksesan dalam hidup mereka. Dengan mentaati ajaran orang tua, anak-anak memiliki kepekaan dan cepat tanggap terhadap hidup dan lingkungannya.

Menurut kitab Amsal, isi ajaran dari orang tua dapat digolongkan menjadi tiga nasehat. Nasehat pertama berupa peringatan untuk melawan teman-teman jahat, nasehat kedua berupa perintah agar menjauhi isteri orang lain, dan nasehat ketiga berupa ajakan untuk hidup dalam kebijaksanaan. Nasehat pertama: peringatan untuk melawan teman-teman jahat (lih. Ams. 1:8-19; 2:12-15; 4:10-19; 6:12-15.16-19). Orang tua memperingatkan agar anak-anak tidak mudah dibujuk untuk terlibat dalam tindak kejahatan. Yang dimaksudkan dengan tindak kejahatan itu antara lain adalah kekerasan, penindasan, dan pembunuhan, yang bertujuan untuk mencari keuntungan pribadi. Dalam menyampaikan peringatan-peringatan itu, orang tua juga harus memperlihatkan akibat dari tindak kejahatan tersebut terhadap diri mereka sendiri. Dengan berbuat jahat, sebetulnya orang mengancam keselamatannya sendiri (bdk. Ams. 1:18). Selain itu perbuatan yang jahat sangat dibenci Tuhan dan “menjadi kekejian bagi hati-Nya” (lih. Ams. 6:16). Kalau anak mendengarkan dan mentaati ajaran ayahnya, ia pasti menempuh “jalan hikmat” dan akan menghindari “jalan orang fasik” (lih. Ams. 11:14).

Nasehat kedua: peringatan untuk menjauhi isteri orang lain (Ams. 2:16-22; 5:1-23; 6:20-35; 7:1-27). Peringatan ini diberikan kepada mereka yang sudah memasuki usia dewasa. Orang tua menasehati anaknya yang sudah memasuki usia nikah, agar tidak mudah terkena bujukan dari wanita yang sudah bersuami. Bila pemuda terkena bujukan dan melakukan perzinahan dengannya, maka ia akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Perbuatan zinah juga menunjukkan bahwa orang yang melakukannya adalah orang yang tidak berakal budi. Akhir dari perzinahan adalah kematian. Oleh karena itu ia harus hidup bijaksana (Ams. 4:6-9) dan setia kepada isterinya sendiri (Ams. 5:15-19), agar tidak mudah jatuh dalam perzinahan.

Nasehat ketiga: ajakan dan saran supaya hidup dalam kebijaksanaan (Ams. 2:1-22; 3:1-26; 4:1-27; 7:1-5). Kebijaksanaan adalah harta yang tak ternilai harganya. Anak yang hidup dengan bijaksana akan terhindar dari kedua bahaya yang disebut di atas. Sebab kebijaksanaan akan memimpin, menjaga, dan mengarahkan hidup ke jalan hikmat. Hanya kebijaksanaanlah yang menjadi jaminan hidup bahagia. Kebijaksanaan menuntun anak kepada pengenalan akan Allah dan takwa kepada-Nya (Ams. 2:1-8; 3:1-35). Kebijaksanaan itu diperoleh melalui nasehat-nasehat dan pendidikan orang tua.

Menurut kitab Amsal, tujuan pendidikan adalah membantu anak mencapai kebijaksanaan. Sebab mencapai kebijaksanaan berarti hidup; sedangkan kegagalan dalam mencapainya berarti kematian. Kebijaksanaan dan pendidikan ke arah kebijaksanaan membentuk pribadi manusia seutuhnya, yang mahir dan mampu dalam segala bidang, termasuk dalam relasi dengan Tuhan. Agar tujuan itu tercapai, pendidikan harus dilaksanakan dengan disiplin. Oleh karena itu orang tua diperbolehkan menggunakan cara yang tegas dalam mendidik anak, misalnya dengan hukuman (bdk. Ams. 19:18). Maksud dari hukuman itu adalah agar anak-anak tidak masuk ke jalan yang salah. Sebab hidup di jalan yang salah berarti berjalan menuju kematian. Pendidikan itu didasarkan pada tradisi, termasuk tradisi iman, tetapi tidak berarti pewarisan rumusan-rumusan tradisi leluhur saja. Lebih dari itu, pendidikan menyampaikan pengalaman hidup dan iman para leluhur yang telah mencapai kebijaksanaan. Oleh karenanya, yang berhak menjadi pendidik adalah orang yang telah menghayati tradisi tersebut dalam hidupnya.

2. Perjanjian Baru

Dalam keempat injil tidak ditemukan ajaran Yesus tentang pendidikan. Tetapi harus diingat bahwa Yesus sendiri dididik dalam keluarga Yusuf dan Maria di Nazareth. Dari kisah masa kanak-kanak dapat disimpulkan bahwa Ia, sebagai seorang anak dari suatu keluarga, memperoleh pendidikan yang baik. Keluarga Kudus hidup di lingkungan adat Yahudi. Dan keluarga itu digambarkan sebagai keluarga yang taat dan patuh terhadap peraturan dan hukum adat Yahudi. Maka dikisahkan bahwa Yusuf dan Maria selalu pergi ke Yerusalem setiap tahun untuk merayakan Paskah.

Yesus hidup dan bertumbuh dalam sebuah keluarga di Nazareth, dalam asuhan Yusuf dan Maria. Yesus dilukiskan sebagai anak yang mengasihi dan patuh kepada orang tua-Nya. Ia tumbuh dan berkembang dalam kasih dan iman yang benar. Sebelum memulai karya publik-Nya, selama kurang lebih tiga puluh tahun, Ia hidup tersembunyi di dalam keluarga Nazareth. Selama itu Ia hidup dan dididik oleh Yusuf dan Maria, seperti anak-anak Yahudi lainnya. Ia membutuhkan waktu selama tiga puluh tahun untuk bertumbuh menjadi dewasa, sehingga siap mewartakan injil.

Para orang tua Yahudi mendidik anak-anak mereka pertama-tama di rumah. Bapa keluarga mempunyai kewajiban untuk mendidik iman anak-anaknya. Pertama-tama ia harus mengajarkan semua perintah dan hukum keagamaan. Pada usia lima tahun anak-anak dimasukkan ke sekolah dasar untuk belajar membaca Taurat (bdk. II Tim. 3:15). Sekolah dasar itu biasanya berhubungan dengan sinagoga. Anak-anak yang berusia sepuluh tahun harus belajar Mishnah atau hukum yang diajarkan secara lisan. Pada umur tiga belas tahun mereka harus mengerti seluruh isi hukum Yahwe dan melaksanakannya[1]. Dan pada usia lima belas tahun mereka harus menyempurnakan pengetahuannya. Inti dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Yahudi itu adalah pelajaran Kitab Taurat.

Kiranya Yesus juga memperoleh pendidikan yang sama seperti anak-anak Yahudi lainnya. Di dalam keluarga-Nya Ia dibimbing dan diajar tentang peraturan dan hukum keagamaan, sebelum menjadi “anak Taurat”. Sebab “anak Taurat” mempunyai kewajiban mendoakan doa shema sehari tiga kali dan selalu pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada usia dua belas tahun, Yesus dipersiapkan untuk menjadi “anak Taurat” itu. Karenanya Ia diajak oleh orang tua-Nya pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Hal ini menunjukkan bahwa Ia dididik supaya menjadi anak yang saleh, taat dan patuh kepada hukum agama. Kemungkinan besar Yesus tidak menerima pendidikan formal dari seorang guru yang termasyhur. Kiranya Ia hanya memperoleh pendidikan di sekolah sinagoga desa. Tetapi Ia dapat membaca dan memahami isi kitab Perjanjian Lama dengan sangat baik. Melalui pendidikan di dalam keluarga dan sekolah sinagoga desa itulah Yesus bertumbuh dewasa, penuh hikmat dan kasih karunia Allah (bdk. Luk. 2:40). Ia tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan pendidikan moral, intelektual, kultural, dan religius.

B. Menurut Ajaran-ajaran Gereja

1. Paus Pius XI

Pendidikan bagi kaum muda merupakan tanggungjawab tiga lembaga, yakni keluarga, Gereja, dan negara. Sebab dalam ketiga lembaga itulah manusia dilahirkan dan hidup. Tempat yang pertama-tama dimasuki manusia adalah keluarga. Ia diciptakan Allah dalam dan melalui keluarga. Menurut kodratnya keluarga merupakan pendidik pertama bagi anak-anak, sebab keluarga diberi kemampuan oleh Allah untuk melahirkan dan mengasuh mereka.

Mendidik adalah hak dan kewajiban mutlak keluarga, yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Negara-negara yang menghormati hukum kodrat, harus mengakui hak dan kewajiban keluarga tersebut. Menurut kodratnya, anak-anak bukanlah ciptaan dan milik negara. Oleh karena itu negara tidak berhak menentukan dan memaksakan bentuk pendidikan tertentu. Orang tualah yang berhak dan berkewajiban menentukan pendidikan anak, sebab merekalah yang melahirkan dan membesarkan.

Gereja terpanggil untuk membela dan mempertahankan hak dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Tetapi Gereja sekaligus menuntut orang tua untuk mempermandikan dan mendidik anak-anak secara kristiani.

Anak, menurut hukum kodrat, adalah “berasal” dari ayahnya. Oleh karena itu sudah selayaknyalah anak berada dalam perawatan dan pemeliharaan ayahnya, sebelum ia akil baliq. Maka tidak dapat dibenarkan bahwa anak, sebelum akil baliq, diambil dari pengawasan orang tuanya[2]. Anak adalah sesuatu dari ayahnya dan merupakan perluasan dari ayahnya. Ayah berhak memperanakkan, mendidik dengan disiplin, dan membimbing anak-anaknya kepada hidup yang sempurna[3]. Oleh sebab itu kekuasaan ayah dalam mendidik anaknya adalah mutlak, tidak dapat dihapus atau direbut oleh negara. Kekuasaan itu berdasar atas asas-asas yang sama dengan hidup manusia sendiri. Namun hal itu tidak berarti bahwa orang tua dapat mendidik anak dengan sewenang-wenang. Sebab kesewenang-wenangan seperti itu tidak sesuai dengan hukum kodrat dan hukum ilahi. Orang tua justru diharapkan untuk menjaga agar pendidikan anak-anak itu sesuai dengan kehendak Allah. Orang tua harus mendidik anak secara kristen dan berusaha sekeras mungkin menjauhkan anak-anak dari sekolah-sekolah yang dapat membawa anak menjadi acuh tak acuh terhadap agama.

Adapun inti sari pendidikan adalah penanaman nilai-nilai hidup berdasarkan sabda Tuhan. Dengan demikian anak-anak akan terhindar dari bahaya penyimpangan dari jalan Tuhan. Pendidikan itu mencakup dua aspek, yaitu jasmani dan rohani. Kedua aspek itu harus dikembangkan secara berimbang, supaya pendidikan itu mengembangkan manusia seutuhnya. Maka pendidikan dalam keluarga kristiani tidak boleh terbatas pada pendidikan agama dan kesusilaan saja, tetapi juga meliputi pendidikan jasmani dan kewarganegaraan.

2. Konsili Vatikan II dan Paus Yohanes Paulus II

Setiap anak mempunyai hak untuk mengembangkan kemampuan fisik, moral, dan intelektualnya, sehingga dia dapat mencapai hidup yang bahagia dan sungguh-sungguh manusiawi. Melalui pendidikanlah pengembangan berbagai kemampuan itu dapat mengarah kepada kesejahteraan masing-masing anak, dan kesejahteraan masyarakat.

Keluarga adalah tempat meletakkan dasar-dasar pendidikan. Maka tugas menyelenggarakan pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga yang utama (GE. 3). Keluarga mempunyai hak dan kewajiban untuk membentuk anak-anak menjadi pribadi yang dewasa. Di samping itu, sebagai suatu lembaga, keluarga wajib mempersiapkan anak-anak menjadi pribadi yang peduli terhadap masyarakat. Maka keluarga merupakan jembatan antara setiap anak dan masyarakat. Keluarga harus menjadi “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat”(FC. 36), tempat anak-anak dapat belajar tentang tata nilai dalam masyarakat. Semua anggota keluarga, masing-masing menurut kemampuan dan kharismanya, mempunyai rahmat dan tanggung jawab untuk membimbing anak-anak. Tetapi pendidik yang paling utama dan pertama bagi anak-anak adalah orang tua. Mereka telah menyalurkan kehidupan baru kepada anak-anak. Maka mereka jugalah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak (GS. 50, GE 3). Mereka mempunyai kewajiban untuk membantu anak-anak agar berkembang sebagai pribadi sepenuh-penuhnya. Suami isteri dipanggil dan diangkat menjadi mitra kerja Allah, Sang Pencipta.

Unsur yang paling mendasar dalam pendidikan anak adalah cinta kasih orang tua. Cinta kasih itu merupakan sumber, semangat, dan norma yang mengilhami dan mengarahkan pendidikan. Di tengah-tengah kehidupan modern ini, orang tua dituntut untuk menanamkan nilai-nilai dasar kepada anak-anak. Melalui pendidikan itu hendaknya anak-anak dibantu untuk merasakan cinta kasih Allah, dan dibimbing untuk menanggapinya. Selain itu mereka perlu dilatih dan dibimbing agar melakukan dan memperjuangkan nilai keadilan dan cinta kasih sejati. Bila diperkaya dengan nilai-nilai tersebut, anak-anak akan mau dan mampu menghormati martabat setiap pribadi dan senang melayani tanpa pamrih.

Keluarga adalah tempat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak-anak. Tetapi bukan berarti seluruh tugas mendidik anak hanya dilaksanakan oleh keluarga sendiri. Bagaimanapun juga keluarga mempunyai keterbatasan. Maka negara dan Gereja mempunyai kewajiban untuk membantu tugas keluarga tersebut, walaupun bantuan negara dan Gereja itu harus dilaksanakan dengan prinsip subsidiaritas.

Konsili Vatikan II melihat adanya perubahan sosial yang menggoncangkan nilai-nilai dasar itu. Maka tugas orang tua yang paling mendesak dan sangat penting adalah membimbing anak-anak melalui pendidikan nilai-nilai dasar. Mendidik itu lebih daripada mengajar. Sebab mendidik adalah usaha memanusiakan manusia. Melalui pendidikan para pendidik membantu anak didik untuk memahami nilai-nilai dasar dan melaksanakannya.

Pada dasarnya hakekat pendidikan dalam keluarga kristiani tidak berbeda dengan hakekat pendidikan semacam itu. Pendidikan dalam keluarga kristiani pun bertujuan untuk mengembangkan pribadi anak-anak menuju kepada kedewasaan yang seutuhnya. Pendidikan dalam keluarga bersifat formatif dan transformatif. Bersifat formatif, karena dalam pendidikan terjadi usaha untuk mewujudkan kemampuan-kemampuan secara nyata. Pendidikan tersebut menghasilkan kemampuan dan kemahiran lahiriah. Bersifat transformatif, karena yang dikembangkan juga mengubah kepribadian. Dalam proses pendidikan tersebut terjadi perubahan kepribadian secara mendasar. Keluarga kristiani tidak boleh puas diri bila anak-anak mencapai kedewasaan pribadi saja. Lebih dari itu, keluarga kristiani harus membantu anak-anak untuk memahami dan merasakan cinta kasih Allah yang menyelamatkan, serta membimbing mereka agar hidup takwa kepada Allah. Pendidikan dalam keluarga kristiani harus mengarahkan anak-anak pada tujuan akhir, yakni persatuan dengan Allah sendiri.

Dalam pendidikan kristiani itu harus terjadi pemberian diri timbal balik antara orang tua dan anak-anak, yakni dengan mengkomunikasikan kemanusiaan masing-masing. Pemberian diri terjadi karena cinta kasih. Maka pendidikan merupakan sebagian dari peradaban kasih, dan sekaligus membangun peradaban kasih itu sendiri.

Daftar pusataka

PAUL S. PUDUSSERY, CMI, Jesus’ Teaching on Family Life, dalam majalah Bible Bhashyam, September 1991, halaman 203 – 241.

Ensiklik Divini Illius Magistri, tahun 1929

MICHAEL J. WRENN (ed.), Pope John Paul II And The Family – A Theological And Catechetical Commentary With Discussion Questions on The Apostolic Exhortation Familiaris Consortio, Franciscan Herald Press, 1983

YOHANES PAULUS II, Surat Kepada Keluarga-Keluarga, 1994


CATATAN KAKI:
  1. B.J. Boland, dalam Tafsir Lukas jilid I, BPK Gunung Mulia Jakarta, 1977, halaman 66, menjelaskan bahwa anak berumur 13 tahun di lingkungan Yahudi adalah “anak Taurat”. Ia sudah dianggap dewasa, maka wajib melaksanakan seluruh perintah hukum Taurat. Pada usia-usia sebelumnya, peraturan dan hukum agama diajarkan kepada mereka dan membiasakan mereka untuk mentaati hukum itu []
  2. Mengutip dari Thomas Aquinas, Summa Theologia II-IIae Q.X,art. 12:The child is naturally something of the father … so by natural right the child, before reaching the use of reason, is under the father’s care. Hence it would be contrary to natural justice if the child, before the use of reason, were removed from the care of its parents, or if any disposition were made concerning him against the will of the parents.” []
  3. Mengutip Thomas Aquinas, Summa Theologia II-IIae, Q.CII, art. 1: “The Father according to the flesh has in a particular way a share in that principle which in a manner universal is found in God … The father is the principle of generation, of education and discipline and of everything that bears upon the perfecting of human life.” []

Minggu, 20 Februari 2011

Akhir Jaman menurut Ajaran Gereja Katolik (bagian ke-2)

0 komentar

Apakah tanda-tanda akhir jaman?

Injil Matius (terutama Mat 24) dan juga kitab Wahyu menuliskan tentang akhir jaman. Kita perlu membaca ayat-ayat tersebut dengan cermat, sebab sebagian dari ayat-ayat Mat 24 telah terjadi sebelum kehancuran Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 AD, dan sebagian lagi dari ayat-ayat itu mengacu pada akhir jaman. Dan ada juga tanda-tanda yang mengacu pada keduanya. Mari kita melihat satu-persatu.[1]:

1. Kerajaan seribu tahun/ Milennium (berdasarkan Why 20).

“[Seorang malaikat] menangkap naga, si ular itu, yaitu Iblis dan Setan, dan mengikatnya seribu tahun lamanya….. Aku juga melihat [jiwa-jiwa yang dipenggal kepalanya karena kesaksian tentang Yesus] hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun…. Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa…” (Why 20:1-8)

Gereja Katolik tidak secara khusus mendefinisikan Millennium ini, namun mengambil patokan dari pengajaran St. Agustinus, yang menginterpretasikan secara allegoris, yaitu mengartikan 1000 tahun ini sebagai simbol, sebagai ‘jangka waktu yang cukup lama’, sebagaimana teks angka ‘1000′ yang lain dalam Alkitab merupakan simbol dari jumlah yang banyak/ ribuan.[2] Seribu tahun kejayaan ini dimana Iblis diikat dan para kudus memimpin bersama Kristus ini sebagai Gereja Katolik yang masuk ke dalam sejarah manusia untuk menebarkan nilai-nilai Injil. Jadi keseribu tahun kejayaan ini mengacu pada era Christendom. Pengikatan Iblis selama 1000 tahun ini dikaitkan dengan perumpamaan yang diajarkan oleh Kristus tentang orang kaya yang diikat: …Bagaimanakah orang dapat memasuki rumah seorang yang kuat dan merampas harta bendanya apabila tidak diikatnya dahulu orang yang kuat itu? Sesudah diikatnya, barulah dapat ia merampok rumah itu.”[3] Kristus telah mengikat Iblis dengan korban sengsara dan salib-Nya. Namun demikian, Iblis terus berusaha mempengaruhi banyak bangsa, walaupun akhirnya mereka berangsur ‘tunduk’ dengan menerima nilai-nilai Injil dan pertobatan.

Maka, ke 1000 tahun tersebut adalah untuk diartikan sebagai simbol, yang mengacu pada arti jangka waktu yang lama antara kedatangan Kristus yang pertama dan kedatangan Kristus yang kedua. Namun menjelang akhir jaman, terjadi pelepasan ikatan Iblis, yang dihubungkan dengan kejayaan singkat suatu kesesatan/apostasy yang besar yang memuncak pada kejayaan Anti-Kristus. Pada saat inilah Gereja akan mengalami pencobaan yang hebat (lihat Why 20:7-9, KGK 675).

Gereja Katolik menolak untuk mengajarkan pandangan mengartikan 1000 tahun itu sebagai sesuatu masa yang literal. Hal ini dinyatakan secara tegas pada pernyataan Congregation for the Doctrine of the Faith di Roma pada tahun 1944, bunyinya sebagai berikut:

In recent times, on several occasions this Supreme Sacred Congregation of the Holy Office has been asked what must be thought of the system of mitigated Millenarianism, which teaches for example, that Christ the Lord before the final judgment, whether or not preceded by the resurrection of the many just, will come visibly to rule over this world. The answer is: The system of mitigated Millenarianism cannot be taught safely.”[4]

Kelihatannya pernyataan ini sulit, tetapi maksudnya sebenarnya sederhana: sebagai orang Katolik, kita menolak doktrin yang mengajarkan bahwa sebelum kedatangan Kristus yang kedua, maka Kristus akan datang lagi sebagai manusia dalam sejarah manusia, untuk memimpin kerajaan-Nya di dunia.

2. Kebangkitan Antikristus (1 Yoh 2:18-23, 2 Tes 2:3-4, Why 13, KGK 675-676)

“Seperti yang telah kamu dengar, seorang Antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus…” (1 Yoh 2:18)

“Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan berbagai cara…Sebab sebelum Hari itu, haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa…. Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai dengan rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mukjizat-mikjizat palsu, dengan rupa-rupa tipu daya jahat…” (2 Tes 2:3-10)

Antikris adalah seseorang yang menyebut dirinya sendiri sebagai Kristus, dan dengan bantuan Iblis akan melakukan banyak mukjizat untuk menarik banyak orang (lih. 2Tes 2:9-10) dan ia akan menganiaya Gereja (lih. KGK 675). Antikristus ini juga disebut oleh Rasul Paulus sebagai “manusia durhaka” atau yang disebut dalam kitab Wahyu sebagai “binatang yang keluar dari dalam laut” yang disembah sebagai nabi palsu.

3. Penyesatan secara besar-besaran (2 Tes 2-3, Why 13:3, Mat 24:11-12 dan Luk 18:8).

“Akan tetapi jika Anak Manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk 18:8)

Alkitab mengajarkan bahwa sebelum kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi banyak orang meninggalkan iman Kristiani. Banyak orang akan tertipu oleh nabi-nabi palsu, terutama nabi palsu yang terakhir, yaitu, Antikristus.

4. Pertobatan bangsa Yahudi (Rom 11)

“Aku mau kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian, seluruh Israel akan diselamatkan…” (Rom 11:25-26)

Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa bangsa Israel akan akhirnya menerima Yesus sebagai Sang Mesias.

4. Pemberitaan Injil sampai ke ujung dunia (Mat 24:14)

“Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” (Mat 24:14)

Maksudnya, ini bukan hanya penyiaran Injil melalui mass-media dan internet, namun merupakan penanaman nilai-nilai Injil di setiap bangsa.

5. Tampaknya tanda Kristus [dimengerti sebagai tanda salib] di langit (Mat 24:30)

“Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit…” (Mat 24:30)

6. Tanda-tanda yang menakutkan di langit, bencana alam yang dashyat dan kerusakan hebat yang disebabkan oleh manusia (Mat 24: Luk 21:25-26).

“Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang.” (Mat 24: 29)

“Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang. Dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelombang laut…” (Luk 21:25)

7. Kemenangan Kristus di dunia tidak terjadi oleh karena kemajuan yang terus menerus oleh kemenangan historis Gereja (lih. Why 3:18), tetapi oleh kemenangan Allah dalam perjuangan akhir melawan Si jahat (lih. Why 20:7-10).

Dapatkah kita mengetahui waktu kedatangan Yesus yang kedua kali?

Yesus mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui waktu kedatangan-Nya yang kedua (Mat 24:42). Alkitab berkali-kali menyatakan bahwa kedatangan Yesus yang kedua ini sifatnya seperti pencuri, dan tak pernah dapat diketahui (lih. Mat 25: 13. Luk 17:22-35, 1 Tes 5:2 dan 2 Pet 3:10). Hal ini juga dinyatakan dengan jelas dalam KGK 673 dan KGK 1040), bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui kapan saatnya kedatangan Yesus yang kedua tersebut.

Jika kita teliti tanda-tanda yang diberikan itu tidak dengan jelas menunjukkan urutan-urutannya, juga periode/ interval yang ada tidak jelas disebutkan jangka waktunya, dan banyak dari tanda itu mempunyai banyak arti dan telah terpenuhi, dan kita tidak tahu persis apakah hal yang lebih besar akan terjadi sebagai pemenuhan tanda-tanda tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak orang telah berusaha mengartikan tanda-tanda, menghitung tahun-tahun untuk meramalkan akhir jaman, namun hanya berakhir dengan sejumlah teori yang tidak menjadi kenyataan.

Jadi, apa gunanya diberitahukan tanda-tanda/ angka-angka tersebut?

  1. Jawabannya adalah sederhana: tidak banyak. St. Agustinus mengajarkan bahwa tanda, angka, simbol yang kurang jelas tersebut dimaksudkan untuk mengajar pada kita kerendahan hati, untuk tidak berkutat meneliti yang melebihi kemampuan kita. Bahwa, kita tidak dapat mengerti semuanya detail Alkitab, dan karenanya kita dibawa untuk menerima apa yang diajarkan oleh Magisterium Gereja. Sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang yang mengiterpretasikan sendiri tentang akhir jaman ini, tidak ada yang berhasil.
  2. Tanda-tanda tersebut juga untuk mengajarkan pada kita bahwa hidup kita sangat rentan terhadap serangan kejahatan. Kita diingatkan akan bahaya ‘kesesatan’ yang mungkin akan kita hadapi, yang disebabkan oleh pengajaran nabi-nabi palsu.
  3. Untuk mengingatkan kita bahwa kita harus selalu berjaga-jaga, bijaksana menilai tanda-tanda itu dan waspada, sebab walaupun kita tidak mengalami akhir jaman sewaktu kita masih hidup, kita akan tetap mengalami ‘akhir dari jaman kita’ pada waktu kita meninggal dunia.
  4. Untuk mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, meskipun Iblis kelihatan sangat hebat, namun kuasa Allah tetap lebih besar dan akan mengalahkan Iblis.

Apa yang terjadi pada Kedatangan Yesus yang kedua tersebut?

  1. Akhir dunia.
  2. Akhir dari waktu, sebab sesudah itu hanya ada keabadian.
  3. Akhir dari kematian, sebab semua yang masih hidup pada saat Yesus datang yang kedua ini tidak mengalami kematian, tetapi ‘diubah’ (lih 1Kor 15:51; 1Tes 14:17)
  4. Akhir dari Api Penyucian. Setelah kedatangan Yesus ini maka semua orang yang ada dalam Api Penyucian akan memasuki surga.
  5. Kebangkitan orang mati. Orang-orang mati akan dibangkitkan (Yoh 5:27-29; 11:23-24). Tubuh orang-orang yang jahat akan bersatu dengan jiwanya dan masuk dalam siksa abadi di neraka, sedangkan tubuh orang-orang benar akan bersatu dengan jiwanya dan akan memasuki kebahagiaan kekal di surga. Tubuh orang-orang benar akan bersinar seperti matahari (Mat 13:43) dan tak bisa lagi mengalami penderitaan, penyakit dan kematian (1 Kor 15:42).
  6. Penghakiman terakhir (Mat 25:31-46; Why 20:1-15). Seluruh umat manusia akan dikumpulkan di hadapan tribunal yang akan menyatakan keseluruhan sejarah manusia. Segala sesuatu yang diperbuat seseorang akan dinyatakan di hadapan segala mahluk, tak ada yang tersembunyi. Tuhan akan mengumumkan penghakiman/ hukuman final, atau penghargaan final yang melibatkan tubuh dan jiwa setiap manusia: ke neraka atau ke surga. Mereka yang wafat sebelum kedatangan Yesus yang kedua telah mengetahui tujuan akhir mereka pada saat penghakiman khusus, dan hal ini tidak berubah. Hanya pada Pengadilan Akhir, pengadilan mereka dinyatakan kembali dan diumumkan hasilnya pada segenap mahluk, dan jiwa mereka bersatu dengan tubuh mereka menuju ke tempat tujuan akhir: surga atau neraka sesuai dengan hasil Penghakiman tersebut. Lebih lanjut mengenai hal ini silakan klik tanya jawab ini.
  7. Restorasi universal (Kis 3:21, 1 Kor 15:28, KGK 671, 769). Setelah Penghakiman Terakhir, maka Gereja akan disempurnakan dalam kemuliaannya, sebagai Yerusalem yang baru (Why 21). Gereja hanya akan terdiri dari orang-orang kudus, yaitu semua orang benar sejak Adam, dari Abel sampai ke orang pilihan terakhir (KGK 769). Para orang kudus akan berjaya bersama Kristus, dalam tubuh dan jiwa yang mulia, dan akan melihat Allah dengan pandangan yang membahagiakan, dimana Allah akan membuka Diri kepada orang-orang pilihan-Nya secara tidak terbatas dan akan menjadi sumber kebahagiaan, perdamaian dan persekutuan sempurna, tanpa akhir (lih. KGK 1044-1045). Unsur-unsur dunia akan hancur karena nyala api ilahi, dan Tuhan akan menciptakan langit dan bumi yang baru (2 Pet 3:12-13), kuasa jahat dikalahkan, dan segala sesuatu akan ditaklukkan di bawah-Nya, dan Allah menjadi semua di dalam semua (1 Kor 15:28).

Untuk akhir yang mulia inilah maka, kita tidak perlu gelisah dan takut menghadapi akhir jaman. Sebab jika kita setia beriman kepada Tuhan dan hidup sesuai dengan perintah-perintah-Nya, maka malah selayaknya bersuka-cita akan adanya akhir jaman ini, di mana Kristus akan kembali lagi sebagai Raja semesta alam.

Kesimpulan

Jadi apa yang harus kita lakukan jika akhir dunia itu datang esok hari? Mungkin ada baiknya kita mengingat kisah kuno yang sering dikaitkan dengan St. Fransiskus Assisi, walaupun mungkin ini hanya sekedar legenda. Ada orang yang bertanya kepadanya demikian, “Apa yang akan kamu lakukan kalau besok kiamat?” Pada waktu ia sedang mencabut alang-alang di kebunnya. Lalu ia menjawab dengan cepat, “Aku akan menyelesaikan mencabut alang-alang ini dari kebunku.” Ini adalah jawaban seseorang yang yakin bahwa ia telah berusaha melayani Tuhan, sehingga tidak takut menghadapi akhir dunia. Jika Tuhan Yesus datang kembali, ia hanya berharap akan mendengar Yesus berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.” (Mat 25:21). Tentu, karena hidup St. Fransiskus yang selalu melaksanakan perbuatan yang ditugaskan kepadanya dengan setia, dengan mata hati terarah kepada Tuhan.

Sekarang memang masalahnya adalah, apakah kita dapat mengatakan demikian, jika pertanyaan itu ditujukan pada kita. Apakah kita sudah melakukan pekerjaan kita dengan setia sesuai dengan panggilan hidup kita? Apakah kita sudah berusaha melakukan kehendak Tuhan? Maka, belajar dari St. Fransiskus, maka mari kita melakukan hal yang serupa, yaitu mencabut alang-alang dalam kebun hati kita, yaitu mencabut ajaran-ajaran yang keliru tentang akhir jaman, dan mengisinya dengan biji kebajikan, iman, pengharapan dan kasih. Semoga dengan demikian, kita dapat melihat akhir jaman dalam perspektif iman, sebab kita percaya, bahwa akhir jaman akan membawa kita, orang-orang yang percaya, kepada kepenuhan janji Kristus, yaitu keselamatan kekal dan persatuan dengan Allah yang tak terbatas. Maranatha, datanglah, ya Tuhan Yesus!


CATATAN KAKI:
  1. Sumber: Spirago- Clark, The Catechism Explained, A Practical Manual, (Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc, 1899, 1921, 1993) p. 273-274; Father Frank Chacon, Jim Burnham, Beginning Apologetics: The End of Time, (Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars), p. 3-5. []
  2. Lihat Mzm 50:10 dan Dan 7:10: seribu dan beribu-ribu di sini maksudnya adalah banyak sekali []
  3. Mat 12:29, lihat St. Augustine, City of God, book XX, chap. 8. []
  4. Congregation for the Doctrine of the Faith, Decree of 19 July 1944, DS, 3839. []

Sabtu, 19 Februari 2011

Akhir Jaman menurut Ajaran Gereja Katolik (bagian ke-1)

0 komentar

Pendahuluan

Saya teringat akan wejangan nenek saya tentang akhir zaman. Sebelum menjadi Katolik, ia adalah seorang Protestan. Sebelum ia wafat, ia pernah berkata demikian pada saya, “Sudah sejak saya masih kecil, saya mendengar akhir jaman dikhotbahkan dan ‘diramalkan’. Katanya sudah hampir datang, tetapi ternyata belum juga datang ya! Jadi lebih baik kita serahkan pada Tuhan, sedangkan bagian kita adalah rajin-rajin berdoa dan berbuat baik saja…” Saya rasa pesan ini sangat bijaksana, sebab jika kita melihat, memang apa yang dikatakan oleh nenek saya itu ada benarnya. Lihat saja, banyak orang meneliti ayat-ayat Alkitab untuk menghitung tahun untuk ‘meramalkan’ akhir jaman, lalu muncullah perkiraan, mulai dari tahun 200, 380, 838, 1000, 1260, 1533, 1844, 1914, 1988… hanyalah sekedar contohnya, tetapi tak ada satupun yang benar. Memang akhir zaman adalah suatu misteri. Kita tak akan mungkin dapat mengetahuinya secara tepat, dan pasti tidak mungkin kita ketahui sampai pada saatnya. Namun, ada banyak hal yang dapat kita ketahui tentang kedatangan Yesus yang kedua ini, dan jangan sampai kita tidak mau tahu tentang hal ini.

Mengapa ajaran Gereja Katolik berbeda dengan ajaran Protestan tentang ini?

Gereja Katolik dan Protestan sama-sama setuju bahwa Yesus Kristus akan datang kembali pada akhir jaman. Namun demikian, ada perbedaan yang cukup mendasar antara pandangan Protestan dengan ajaran Gereja Katolik tentang hal ini. Dua sebab historis yang cukup berpengaruh adalah:

  1. Gereja Protestan tidak melihat bahwa banyak nubuatan dari kitab Daniel yang telah terpenuhi pada masa Yudas Makabe. Karena Alkitab Protestan tidak memasukkan kitab Makabe, maka dapat dimengerti, mengapa demikian.
  2. Kurang memadainya pemahaman tentang kejadian seputar kehancuran Bait Allah di Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 AD, yang juga merupakan pemenuhan sebagian dari perkataan Yesus sendiri pada Injil Matius, Markus dan Lukas.

Dua pandangan Protestan: Post- millenniarism dan Premilleniarism

Mungkin ada baiknya, sebelum kita mempelajari apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, kita melihat terlebih dahulu tentang apa yang diajarkan oleh gereja Protestan tentang akhir zaman ini. Gereja Protestan kebanyakan mengkaitkan kedatangan Yesus yang kedua dengan Kerajaan 1000 tahun yang disebutkan dalam Why 20:1-6. Mengenai hal ini terdapat dua pandangan yang berbeda: pandangan yang meletakkan kedatangan Kristus sebelum kerajaan 1000 tahun adalah Pre-millennialism, sedangkan yang meletakkan kedatangan Kristus sesudah kerajaan 1000 tahun adalah Post-millennialism.

Post-millenialism mencapai puncaknya pada abad 18-19 pada komunitas Anglo- Amerika, yang ditandai dengan pandangan optimistik tentang sejarah manusia, yang menuju kepada kemajuan secara universal. Pandangan ini mengharapkan 1000 tahun kejayaan Kristus yang akan tercapai dalam sejarah manusia. Pada akhir periode kejayaan ini, Iblis akan dilepaskan, perang Armageddon akan terjadi dan Kristus akan kembali datang dengan kemulian-Nya. Kerajaan 1000 tahun menurut pandangan ini mengacu kepada keadaan ideal di segala bidang, yang dihubungkan dengan revolusi politik dan keadilan sosial. Menarik di sini, bahwa ide ini bahkan juga mempengaruhi mental para atheists, seperti Marxism, Nazism dan regim totalitarian lainnya. Namun, dewasa ini, lama-kelamaan faham ini menjadi kurang populer, karena terjadinya kejadian-kejadian brutal di abad ke- 20, dan juga penurunan standar moral, di mana orang-orang tidak lagi menerapkan ajaran iman dan moral Kristiani. Maka pandangan akan kemajuan optimistik akan sejarah manusia dianggap menjadi terlalu naïf.

Maka sekarang, ada tendensi bahwa gereja Protestan tidak lagi mengharapkan kerajaan 1000 tahun melalui kemajuan sejarah manusia. Sebaliknya, mereka mengakui bahwa dimensi kehidupan manusia akan mengalami kemunduran di dalam hal iman dan moral. Nah, maka, timbullah paham Pre-millennialism, di mana keadaan manusia akan semakin memburuk, menjelang akhir jaman/ kedatangan Yesus yang kedua kali. Dalam pandangan ini, terdapat pengajaran yang dikenal sebagai Rapture dan Dispensationalism.

Apakah akan ada “the Secret Rapture”?

Sering kita dengar teori dari saudara/i kita yang Protestan, bahwa akan ada yang disebut sebagai “the secret rapture”. Yang paling terkenal adalah yang dapat kita baca dalam seri “Left Behind: A Novel of the Earth’s Last Days” karangan Tim LaHaye and Jerry Jenkins. Maksudnya di sini adalah di akhir jaman nanti Yesus akan datang dua kali: 1) Yang pertama, Yesus akan ‘mengangkat’ orang-orang yang sungguh beriman agar tidak mengalami pencobaan/ penderitaan di akhir jaman. [Orang ‘beriman’ yang dimaksud di sini adalah orang yang mengimani apa yang mereka ajarkan]. 2) Yang kedua, setelah pengangkatan ini, maka orang-orang yang tertinggal di dunia akan mengalami kesengsaraan akhir “final tribulation”, karena Antikristus akan dibiarkan berkuasa dan akan terjadi bermacam-macam bencana, yang mencapai puncaknya pada penghukuman orang-orang yang menolak Tuhan, pada saat kedatangan Kristus kembali. Jadi ini merupakan kedatangan Yesus yang ‘ketiga’, walaupun para rapturists mengatakan hal ini tidak terpisah dari kedatangan-Nya yang rahasia tersebut di atas.

Ketidaksepakatan dari para rapturists mengenai kapan rapture terjadi

Para rapturists tersebut mengatakan bahwa menurut Alkitab, kesengsaraan akhir akan terjadi pada tujuh tahun terakhir, dan “secret rapture” itu akan terjadi di dalam periode tersebut. Tetapi, di antara para rapturists itu, tidak ada kesepakatan, kapan sebenarnya akan terjadi “rapture” tersebut. Ada yang mengatakan sebelum kesengsaraan akhir (pre-tribulationists), namun ada juga yang yakin terjadi di tengah-tengah kesengsaraan (mid- tribulationists) dan sesudah kesengsaraan (post-tribulationists). Atau ada juga yang mengajarkan partial rapture, yang artinya hanya sebagian orang-orang Kristen saja yang ‘diangkat’ sebelum kesengsaraan akhir, sedangkan yang lain pada saat sesudahnya. Ketidaksepakatan ini tak jarang menyebabkan perdebatan yang keras. Suatu ironi, karena setiap rapturist itu mengklaim bahwa ia mengartikan secara harafiah berdasarkan “the plain sense of Scripture”. Rupanya, tentang rapture ini ternyata tidak terlalu “plain”/ jelas, bahkan di mata para rapturists itu sendiri.

Kalau begitu, dari mana mereka mendapatkan ide rapture ini?

Sebenarnya, ide “rapture/ pengangkatan” ini hanya dipegang oleh sebagian kecil dari umat Kristen di seluruh dunia. Umat Katolik, Ritus Timur Orthodox, dan bahkan jemaat Protestan sendiri banyak yang menganggap teori rapture ini sebagai sesuatu yang asing. Yang pasti, hal rapture ini tidak ada dalam syahadat Aku Percaya. Yang ada dalam Credo sebenarnya adalah “Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati, kerajaan-Nya tidak akan berakhir.” Syahadat tidak mengatakan apapun tentang kedatangan Yesus ‘tambahan’ secara rahasia untuk mengangkat umat beriman untuk membebaskan mereka dari kesengsaraan akhir jaman. Jadi kesimpulannya, bukan saja hanya para Paus saja yang tidak mengajarkan rapture ini, bahkan para pendiri Gereja Protestan, yaitu Martin Luther, John Calvin dan John Wesley tidak mengajarkan rapture. Maka, jika ada orang bertanya, mengapa di Credo tidak disebutkan mengenai ‘secret rapture’ ini, karena memang ide ini tidak diimani oleh mayoritas umat Kristiani dalam sejarah Gereja, dan tidak berakar dari pengajaran Bapa Gereja.

Dispensationalism

Dispensationalism, adalah pengajaran yang dipelopori oleh John Nelson Darby (1859-1874), pemimpin sekte Kristen di Inggris, yang bernama Plymouth Brethern yang mengajarkan doktrinnya ke Amerika dan Kanada. Dinamakan ‘dispensationalism’ karena ia membagi sejarah manusia menjadi 7 masa dispensasi/ tahap dimana Tuhan menyatakan wahyu-Nya kepada manusia. Namun di setiap tahap, manusia gagal dalam ujian, sehingga penghakiman terjadi di akhir setiap tahap, dan tahap baru akan menyusul sesudahnya. Maka menurut Darby terdapat perbedaan tak terseberangi antara bangsa Israel dan Gereja, sehingga ia membagi misalnya, bahwa nubuat Perjanjian Lama hanya diperuntukkan bagi bangsa Israel, dan tak ada satupun untuk Gereja. Menurut para dispensationalists, karena bangsa Israel menolak pembentukan Kerajaan Mesias di dunia dengan menolak Kristus, maka Tuhan menunda pembentukan Kerajaan tersebut, dan berpaling pada bangsa-bangsa non-Yahudi. Karenanya, jam/ lonceng nubuatan Yahudi berhenti berdetak, dan hanya lembali berdetak setelah Antikristus datang, dan ‘rapture’ orang-orang beriman terjadi. Setelah para beriman diangkat, maka akan ada penderitaan akhir/ great tribulation bagi dunia, dengan bangsa Israel sebagi pusatnya. Lalu Yesus akan datang ke dunia yang terakhir kali, dan berjaya selama 1000 tahun.

Dispensationalism dan ‘rapture’ tidak tertulis secara harafiah dalam Alkitab

Meskipun para rapturists mengatakan bahwa ide mereka diperoleh melalui “the plain sense of Scripture” namun di Alkitab tidak ada pernyataan yang jelas dan harafiah seperti ini: “Kristus akan kembali datang ke dunia secara rahasia untuk mengangkat umat-Nya ke surga dan kemudian sekali lagi dalam kemuliaan-Nya untuk menghakimi dunia.” Atau, “Tuhan akan mengangkat umat-Nya sebelum kejayaan Antikristus, untuk membebaskan mereka dari penghakiman/ kesengsaraan akhir.” Tidak ada satupun ayat yang mengatakan demikian.

Ayat yang sering mereka kutip adalah Mat 24:37-42, “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya… kedatangan Anak Manusia. …kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain ditinggalkan… Karena itu berjaga-jagalah sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” Menurut para rapturists, maka yang dibawa/ diangkat adalah para orang percaya, sedangkan yang tertinggal adalah yang orang yang tidak percaya. Padahal banyak orang Kristen percaya, bahwa ayat ini mengacu pada penghancuran Yerusalem oleh bangsa Roma. Maka jika konteks air bah jaman Nabi Nuh yang dipakai sebagai acuan, …”air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua.” (Mat 24:37, 39) maka yang ‘dibawa/ dilenyapkan’ adalah orang-orang yang jahat sedangkan orang-orang yang benar malah ditinggalkan, yaitu Nabi Nuh dan anggota keluarganya. Namun demikian, meskipun diartikan bahwa yang diangkat adalah orang-orang yang benar, dalam ayat itu tidak dikatakan bahwa Yesus akan datang secara ‘rahasia’ untuk mengadakan pengangkatan umat pilihan-Nya.

Ayat lainnya yang sering dikutip adalah 1 Tes 4:13-17. Pada ayat ini Rasul Paulus bermaksud menghibur umat di Tesalonika akan kesedihan yang berlebihan meratapi anggota komunitas yang telah wafat, namun ia juga menyinggung tentang kedatangan Tuhan yang kedua: “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup dan masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit, sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.”

Seorang ahli Alkitab Protestan, Douglas J. Moo yang menentang teori rapture mengatakan, “Teks Perjanjian Baru secara garis besar diarahkan untuk kondisi khusus dalam kehidupan Gereja. Artinya… bahwa pengarang [kitab] akan memasukkan apa yang ia ingin sampaikan pada kondisi tertentu dan tidak menyertakan sesuatu yang tidak perlu jika tidak sesuai dengan maksudnya.” Maka untuk konteks 1 Tes 4:13-18, Rasul Paulus menekankan kebangkitan untuk menghibur umat Kristen yang berduka; sedangkan 2 Tes 1:3-10, ia menekankan pada penganiayaan dan penghakiman untuk menguatkan umat Kristen yang sedang menderita penganiayaan. Namun demikian, Rasul Paulus tetap mengacu pada kejadian yang sama, yaitu: Kedatangan Kristus yang kedua yang terjadi hanya satu kali, dengan kemuliaan-Nya. Moo kemudian membandingkan dengan penuturan dan penekanan yang berbeda pada ke-empat Injil tentang kisah sengsara Yesus di salib, namun semuanya mengacu pada kejadian yang satu dan sama, yaitu penyaliban Yesus di Golgotha.

Jadi apa pengajaran Bapa Gereja mengenai akhir jaman?

  1. St. Yustinus Martir (100-160): “…. Dua kedatangan Kristus yang telah diberitakan, adalah: pertama waktu Ia datang dalam penderitaan, tidak dalam kemuliaan, tidak dihormati dan disalibkan; tetapi kemudian Ia akan datang [kembali] dari surga dengan kemuliaan, ketika … Antikristus [lihat 2 Tes 2:3] yang mengajarkan hal-hal yang menentang Yang MahaTinggi, datang untuk melakukan hal-hal yang jahat di dunia melawan orang-orang Kristiani.” Maka di sini kita ketahui hanya ada dua kali kedatangan Kristus. Kedatangan yang kedua adalah setelah Gereja mengalami penganiayaan yang disebabkan oleh Antikristus. Tidak disebutkan adanya ‘secret rapture’ untuk membebaskan orang percaya dari penderitaan/ tribulations.
  2. St. Irenaeus (125-203): St. Irenaeus, yang adalah murid St. Policarpus, yang adalah murid St. Yohanes, mengatakan bahwa ke-10 raja yang disebut dalam Dan 7:24 dan Why 17:12, akan “memberikan kerajaan mereka kepada Antikris, dan mengusir Gereja.” Tetapi, para orang beriman akan bertemu dengan Tuhan pada “kebangkitan orang-orang benar, yang akan terjadi setelah kedatangan Antikristus, dan kehancuran semua bangsa di bawah kepemimpinannya. Di sini juga jelas bahwa Gereja harus bertahan menghadapi penderitaan/ tribulation yang disebabkan oleh Antikristus, namun kemudian Kristus akan datang dan mengunpulkan para kudusnya dalam kebangkitan orang mati.
  3. St. Hippolytus (wafat 235): Ia juga mengajarkan dalam komentar kitab Daniel 12:1, bahwa akan terjadi masa kesulitan setelah kedatangan Antikristus yang menyebabkan kehancuran, baru setelah itu Kristus akan datang terakhir kali dari surga, “yang membawa api dan pengadilan yang adil bagi mereka yang menolak untuk percaya kepada-Nya.” Di sini juga tidak disebutkan bahwa ada kedatangan Yesus yang ‘ekstra’ dan rahasia untuk membebaskan Gereja dari penderitaan terakhir.
  4. Selanjutnya, pengajaran senada juga diajarkan oleh para Bapa Gereja, seperti dalam Surat-surat Barnabas, Hermas, Didache, Tertullian, Lactantius, Melito dari Sardis dan Methodius.
  5. St. Jerome (342-420), dengan mengacu pada beberapa ayat dalam Alkitab mengajarkan, bahwa orang-orang Kristen akan mengalami ‘final tribulation’ seperti yang mereka alami dalam setiap generasi. “Kamu keliru jika kamu menyangka bahwa tidak akan ada waktu bagi orang-orang Kristen untuk menderita akibat penganiayaan Iblis… Harinya akan datang…terberkatilah pelayan yang didapati Tuannya siap sedia. Lalu pada suara sangkakala dan bangsa-bangsa ketakutan, namun kamu malah bersuka cita… sebab kamu akan bergembira, tertawa dan berkata, Lihatlah, Tuhanku yang tersalib, lihat, Hakim-ku.”
  6. St. Agustinus (354-430), mengatakan bahwa, “Allah yang Maha Besar sama sekali tidak membebaskan para kudus-Nya dari pencobaan, tetapi hanya melindungi hati mereka (“the inner man”), di mana iman berada, supaya dengan pencobaan dari luar, mereka [malah] bertumbuh di dalam rahmat… Pencobaan/penganiayaan ini yang terjadi di hari terakhir adalah sangat hebat, dan akan menjadi yang terakhir untuk dihadapi oleh Gereja yang Kudus di seluruh dunia, seluruh kota Kristus akan diserang oleh kota Iblis, yang keduanya ada di dunia.” Lalu St. Agustinus mengatakan, bahwa Kristus akan datang kembali untuk membangkitkan orang mati dan menghakimi dunia. “Kebangkitan pertama” yang disebutkan dalam Why 20:5 diartikan sebagai Pembaptisan dan kehidupan dalam rahmat yang diberikan kepada umat beriman melalui sakramen-sakramen Gereja. Jadi uraian St. Agustinus jelas mengatakan, bahwa kedatangan Yesus yang kedua akan terjadi hanya satu kali, dalam kemuliaan, dan dapat dilihat oleh semua orang, sebagai akhir dari penderitaan yang besar yang dialami Gereja.
  7. St. Yohanes Krisostomus (347-407) juga percaya bahwa “pengangkatan” orang beriman akan terjadi bersamaan dengan kedatangan Kristus kembali dengan mulia di akhir sejarah manusia, untuk membangkitkan orang-orang mati dan menghakimi dunia. Dalam komentarnya terhadap 1 Tes 4:15-17 dia menjawab pertanyaan, “Kalau Kristus hendak turun ke dunia, mengapa kita perlu ‘diangkat’? Jawabnya adalah: “demi menghormati Dia. Di sini St. Yohanes menghubungkan pengangkatan dengan kebiasaan di masyarakat kuno, yang menyambut raja yang datang menuju tempat tujuannya. Bahkan hal ini njuga terjadi pada keluarga, dimana ketika ayah datang, maka anak-anak datang menyambutnya.
  8. St. Thomas Aquinas (1225-1274) Ia mengutip St. Gregorius Agung yang dikutip oleh St. Albert yang mengatakan bahwa “suara sangkakala itu tidak lain adalah Sang Putera Allah yang turun ke dunia untuk menjadi Hakim. Hal ini berkaitan dengan Mat 24:27, “Sama seperti kilat memancar dari sebelah timur dan melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pula-lah kelak kedatangan Anak manusia.”

Dari tulisan di atas, kita mengetahui, bahwa sepanjang sejarah Gereja, para Bapa Gereja tidak mengenal adanya teori “secret rapture”. Walaupun para rapturist ada yang mengutip suatu tulisan kuno yang tak jelas siapa pengarangnya, namun yang mungkin dipercayai oleh sejumlah umat Kristen awal. Pengarangnya disebut sebagai “Pseudo-Ephraem.” Dalam teks kuno tersebut memang ada bagian yang jika dilepaskan dari konteksnya, dapat seolah mendukung teori rapture. Namun, sesungguhnya pernyataan tersebut cukup problematik, sebab secara keseluruhan teks tersebut menceritakan tentang kedatangan Kristus dengan kemuliaan-Nya diiringi oleh para malaikat dan para kudus-Nya untuk membangkitkan orang-orang mati pada Hari Penghakiman. Sehingga, hal bertentangan dengan pengangkatan orang beriman yang sudah meninggal secara rahasia/ secret rapture. Juga, pada teks yang sama dikatakan bahwa umat Kristen akan mengalami penderitaan akhir/ final tribulation di bawah Antikris, jadi ini juga bertentangan dengan pandangan bahwa secret rapture adalah untuk membebaskan para beriman dari penderitaan akhir.

Namun, seandainya pun ada yang menganggap teks ini adalah dasar pengajaran “secret rapture”, maka sesungguhnya, secara objektif dapat dikatakan bahwa pandangan tersebut hanyalah merupakan pendapat sekelompok jemaat awal berdasarkan dari pengarang yang tidak dikenal yang tidak mempunyai wewenang mengajar di Gereja, dan tidak sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja yang lain.

Pengajaran para pendiri Gereja Protestan tentang akhir jaman

Baik Luther maupun Calvin mengikuti pengajaran St. Agustinus: bahwa Gereja tidak dilepaskan dari penderitaan/ tribulation di tangan Antikristus, namun akhirnya, Kristus akan kembali dengan kemuliaan-Nya:

  1. Martin Luther, mengomentari kitab Wahyu, mengatakan bahwa kitab itu merupakan penjabaran tentang “penderitaan dan bencana yang akan terjadi pada dunia Kristen sepanjang sejarah.”
  2. John Calvin mengatakan, bahwa Antikristus akan menyelesaikan “penceraiberaian Gereja secara publik”. Namun akhirnya, Kristus akan mengalahkannya “dengan nafas mulut-Nya dan akan memusnahkannya [dengan segala kesesatannya], pada saat Ia datang kembali.” (lih. 2Tes 2:8). Maka bahkan Calvin sendiri yakin bahwa kejadian 1 Kor 15:20-28 dan 1 Tes 4:13 adalah satu kejadian. Ia mengatakan, perihal bunyi sangkakala terakhir,….”I prefer to understand the expression as metaphorical. In 1 Tes 4:16, …connects together the voice of the archangel and the trumpet of God. As therefore a commander, with the sound of a trumpet, summons his army to battle, so Christ, by His far- sounding proclamation, which will be heard throughout the whole world, will summon all the dead… to the tribunal of God.

Jadi apa prinsip pengajaran Gereja Katolik tentang kedatangan Yesus yang kedua?

Secara prinsip ada empat hal yang perlu kita ketahui:

1. Kedatangan Yesus yang kedua tidak akan terjadi secara rahasia, melainkan akan terjadi secara publik, kelihatan oleh semua orang, penuh dengan kemuliaan, dan kejayaan. Maka, kedatangan Kristus yang kedua hanya akan terjadi satu kali saja.

  • “Lihat, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia.” (Why 1:7).
  • “… semua bangsa di bumi…. akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan kekuasaan dan kemulianNya.” (Mat 24:30)
  • Kedatangannya akan diiringi dengan bunyi sangkakala (Mat 24:31)
    “…. dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia” (Mat 25:31)

2. Kedatangan-Nya yang kedua akan datang tanpa diduga, dengan cara yang sama seperti saat Ia naik ke surga, dan diikuti oleh Penghakiman Terakhir yang mencakup semua orang.

  • “Hendaklah kamu siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.” (Mat 24:44)
  • “Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga” (Kis 1:9-11).
  • Kedatangan Kristus akan menjadi akhir dunia dan membawa semua manusia kepada Pengadilan Terakhir (Mat 25) ….”Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas tahta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang …” (Mat 25:31-32)

3. Seperti Yesus mengingatkan para murid-Nya, Gereja akan mengalami banyak penganiayaan sebelum kedatangan-Nya yang kedua. Kekuatan Iblis akan menyerang umat Allah, dan para beriman tidak dibebaskan dari kesulitan ini. Namun Tuhan akan memberikan rahmat untuk bertahan, dan siapa yang bertahan sampai kesudahannya melalui pemurnian dan kesetiaan dalam pencobaan ini, akan diselamatkan (lihat perikop tentang Siksaan yang berat dan mesias-mesias palsu pada Mat 24:15-28, Mrk 13:14-23, Luk 21:20-24).

4. Tuhan mengajarkan bahwa saat kedatangan Kristus yang kedua tidak dapat diketahui sebelumnya (lih. KGK 673)

  • “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” (Mat 24:42)
  • “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.” Maka KGK 1040 mengatakan, “Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi.”

Kesimpulan

Sementara banyak gereja Protestan mengajarkan tentang akhir jaman ini dengan begitu banyak variasinya, yang bahkan bisa saling bertentangan, Magisterium Gereja Katolik memang memilih dengan tenang untuk teguh berpegang pada Tradisi yang diajarkan oleh para Bapa Gereja. Intinya, kedatangan Yesus yang kedua hanya terjadi satu kali, tiba-tiba dan tak dapat diketahui sebelumnya oleh manusia, dan Kristus akan datang dengan kemuliaan-Nya. Gereja Katolik tidak berusaha meramalkan siapakah Antikristus, ataupun menghubungkan skenario kitab Daniel dan kitab Wahyu. Namun bukan berarti kita layak mengacuhkannya, sebab permenungan akan akhir dunia akan sangat berguna untuk meletakkan kehidupan sehari-hari dalam perspektif yang benar, agar kita tidak terlena dengan kesenangan dan harta duniawi. Hal akhir jaman ini memang layak kita cermati, walaupun itu hanya menyadarkan kita bahwa kita mempunyai beberapa kemungkinan jawaban daripada sesuatu yang sudah pasti.

Selanjutnya, sebagai umat Katolik, tak usah kita lekas gelisah jika mendengar tentang pengajaran tentang akhir jaman. Akhir jaman memang harus menjadi perhatian kita, namun maksudnya agar kita dapat hidup dengan lebih baik dengan mempergunakan waktu yang Tuhan berikan pada kita dengan sebaik-baiknya untuk berbuat kasih dan kebaikan. Kita tidak perlu turut menghitung tahun dan waktu kedatangan Yesus yang kedua, karena besar kemungkinan hal itu tidak benar, seperti yang telah terbukti dalam sejarah manusia. Hasil hitungan kita akan hanya menambah panjang daftar kekeliruan ramalan manusia akan perhitungan akhir jaman, sebab Tuhan sendiri mengatakan bahwa kita tidak akan tahu hari mana Ia akan datang (Mat 24:42). Namun sebaliknya, kita juga tidak boleh mengacuhkan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua ini, apalagi sampai hidup seolah-olah tidak akan ada Hari Penghakiman. Sebab jika demikian, kita akan menyesatkan diri sendiri dan akan menerima ganjarannya di akhir jaman nanti. Jadi, mari kita melakukan apa yang diajarkan oleh Gereja, yaitu, berjuang untuk hidup kudus, dengan mengasihi Tuhan dan sesama, sesuai dengan panggilan hidup kita, entah sebagai kaum awam atau kaum tertahbis. Supaya jika saatnya tiba, entah pada akhir hidup kita, ataupun jika kita masih hidup, pada hari kedatangan-Nya, maka kita didapati-Nya sebagai hamba yang setia dan berjaga-jaga. Agar kita boleh mendengar sabda-Nya, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.” (Mat 25:34).


Father Frank Chacon, Jim Burnham, Beginning Apologetics: The End of Time, (Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars), p. 3.

Paul Thigpen, The Rapture Trap, PA: Ascension Press, 2001, p. 127.

Menurut Konsili Nicea, 325 AD

Lihat A Catholic Commentary on Holy Scripture, gen ed. Dom Orchard, OSB, New York: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1953, p. 896.

Diterjemahkan dari Douglas J Moo, “Response to Feinberg” in Gleason L Archer, et al., The Rapture: Pre- Mid-, or Post- Tribulational? (Grand Rapids, Mich: Zondervan, 1984), p. 99-100.

Diringkas dari The Rapture Trap, Paul Thigpen, PA: Ascension Press, 2001, p. 132-140.

St. Yustinus Martir, Dialogue with Trypho, 110, , dapat dilihat dalam The Ante-Nicene Fathers: Translations of the Writings of the Fathers Down to AD 325, Alexander Roberts and James Donaldson, eds. (Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987, reprint). 10 volumes.

St. Jerome, Letter XIV.

St. Augustine of Hippo, City of God, XX, 8, 11, 14

St. John Chrysostom, Homilies on Thessalonians, VIII, “When a king drives into a city, those who are in honor go out to meet him; but those who are condemned await the judged inside the city. And at the coming of an affectionate father, his children and all those who are worthy to be his children are taken out to Him in chariot, so that they may see him and kiss him. But those of his servants who have offended him remain inside the house. We are carried upon the chariot of our Father. For He received Christ up in the clouds, and we shall be caught up in the clouds [see Acts 1:9]. Do you see how great is the honor? And as He descends, we go forth to meet Him…so shall we be with Him.“ (see 1 Tes 4:17)

St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, Suppl. Q.77. Art.2.

Pseudo, disini artinya, menurut Wikipedia: The prefix pseudo (from Greek ?????? “lying, false”) is used to mark something as false, fraudulent, or pretending to be something it is not. Jadi Pseudo- Ephraem, adalah tulisan yang diperkirakan seperti tulisan St. Ephraem tetapi sebenarnya bukan.

For the saints and elect of God are gathered, prior to the tribulation that is to come, are taken to the Lord lest they ever see the confusion that is to overwhelm the world because of our sins….” Seperti dikutip oleh Gundry, First the Anti Christ, 162-63. Buku ini menceritakan pandangan Protestan tentang akhir jaman. Namun secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa pandangan seorang evangelical Protestant dapat menentang ajaran “secret rapture” ini. Juga hal ini dijelaskan dalam buku Gundry yang lain, The Church and Tribulation.

Martin Luther, Preface to the Revelation of St. John, II; and Sermon on John 16:13.

John Calvin, Commentary on First Corinthians, 52.

Lihat Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium bab 5, Panggilan untuk hidup kudus.

Jumat, 18 Februari 2011

Bagaimana menginterpretasikan Kitab Suci menurut pengajaran Gereja Katolik?

0 komentar

I. Perkenalan dengan Kitab Suci

Orang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Maka agar kita dapat mengasihi Tuhan, kita perlu mengenal Dia. Sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya kita mengenal Allah? Agaknya Tuhan memahami bahwa manusia akan mempunyai pertanyaan semacam ini dalam hatinya, sehingga Allah-lah yang pertama- tama melakukan inisiatif: Ia mewahyukan Diri-Nya, melalui alam semesta, melalui suara hati nurani dan yang secara khusus, melalui Wahyu umum yang diberikan kepada Gereja.

1. Apakah Kitab Suci itu?

Kita sering mendengar bahwa Kitab Suci adalah “Wahyu Allah”. Wahyu atau pernyataan Allah tentang diri-Nya ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26). Artinya kita adalah mahluk rohani yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang dilengkapi oleh akal budi dan kehendak bebas, sehingga kita dapat mengetahui, memilih dan mengasihi. Dengan demikian, kita manusia dapat menyimpulkan bahwa Tuhan Sang Pencipta itu ada, dengan melihat segala ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita. Keberadaan Tuhan juga diketahui dengan memperhatikan suara hati nurani dalam setiap orang, di mana Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya untuk menyatakan hal yang benar dan yang salah; inilah wahyu yang universal. Selanjutnya, Tuhan juga secara khusus memberikan wahyu yang merupakan pernyataan akan diri-Nya dan kehendak-Nya bagi manusia untuk mencapai tujuan akhir yang direncanakan-Nya. Wahyu ini disampaikan kepada manusia sejak awal sejarah manusia sampai sekarang; yaitu melalui para nabi, yang mencapai puncaknya di dalam Yesus Kristus Putera-Nya, dan wahyu ini yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul Kristus.

Wahyu umum ini adalah wahyu Allah yang khusus diberikan kepada umat manusia agar manusia dapat mengenal siapa diri-Nya dan rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia. Wahyu umum ini bermula dari wahyu yang diberikan kepada para nabi, dan berakhir dengan wafatnya rasul Kristus yang terakhir.[1] Wahyu umum ini terdiri dari dua jenis, yang tergantung dari cara penyampaiannya; yaitu Kitab Suci (tertulis) dan Tradisi Suci (lisan).[2] Maka kita ketahui ketiga hal ini:

1. Kitab Suci adalah Wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus.[3].

2. Tradisi Suci adalah Wahyu ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dengan yang mereka terima dari Yesus dan yang kemudian diturunkan kepada para penerus mereka.[4]

3. Maka kita ketahui sekarang bahwa untuk menerima wahyu Allah secara lengkap, kita tidak hanya perlu Kitab Suci, namun juga Tradisi Suci, dan pihak wewenang mengajar Gereja (Magisterium) yang dapat secara benar mengartikan wahyu ilahi tersebut. Ketiga hal ini disebut sebagai pilar iman, yang ditujukan untuk menjaga dan mengartikan wahyu publik dari Allah ini di dalam kemurniannya.

2. Kitab Suci yang adalah Sabda Allah itu terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Pernahkah anda membaca novel, namun hanya membaca bagian akhirnya saja? Walaupun mungkin anda dapat menangkap bagian yang terpenting dari kisah tersebut, namun tentu, kisah tersebut akan lebih dapat dipahami, jika anda membaca buku tersebut mulai dari bagian awal. Demikianlah halnya dengan Kitab Suci yang merupakan Sabda Allah yang tertulis tentang rencana keselamatan Allah yang dimulai sejak awal mula penciptaan dunia, sampai penggenapannya di dalam diri Kristus.

Oleh karena itu, untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama (sebelum kedatangan Kristus) dan Perjanjian Baru (saat dan setelah kedatangan Kristus), dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama (PL) yang melatar-belakangi Perjanjian Baru (PB), merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[5]. Sama seperti suatu kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya, demikian juga Kitab Suci hanya akan dapat kita pahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara PL dan PB, dan dalam kaitan satu ayat dengan ayat yang lain.

3. Penulisan Kitab Suci melibatkan akal budi para penulisnya

Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan.[6]. Namun demikian, ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budayanya, dst. Maka jika kita ingin memahami Kitab Suci, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Kitab Suci, walaupun ditulis oleh orang yang berbeda- beda, sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci.

4. Kitab Suci itu diberikan kepada Gereja sebagai pedoman

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat kita lihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa mempunyai sumber dari Kitab Suci disamping Tradisi Suci, dan kita dapat melihat secara jelas dalam liturgi Gereja. Paus Benediktus XVI dalam pengajaran apostoliknya, Verbum Domini, mengajarkan bahwa Kitab Suci mendapatkan tempat di dalam sakramen-sakramen, liturgi, brevier, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu, dll.[7]

II. Prinsip umum yang harus dipegang

1. Gereja ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci.

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Demikian pula, Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak membentuk Kitab Suci, namun Yesus membentuk Gereja, yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18). Gereja pulalah yang menentukan kanon seluruh Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab Perjanjian Baru adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama.

2. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul, sebab tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.

Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, berabad – abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan di akhir abad ke 4. Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga bahwa ‘ajaran yang diteruskan/ diberitakan melalui pembicaraan’ oleh para rasul inilah Tradisi suci -1 Kor 11:2, 23; 2 Yoh 12, 3 Yoh 13)

Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25). Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35, di mana rasul Paulus meneruskan perkataan Yesus “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”; yaitu perkataan Yesus yang tidak tertulis dalam Injil.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya

Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Kitab Suci yang memang sulit untuk dicerna (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16), dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Kitab Suci untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh- sungguh Tuhan.

4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya.

Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 18:18; 28:19-20; Luk 10:16; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ Wewenang mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, namun hanya menjaga agar peraturan dijalankan semestinya.

Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya, Verbum Domini. Paus menegaskan bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah yang bersumber pada Roh Kudus diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk ke dalam kanon Kitab Suci. Dengan demikian, Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus.[8] Hal yang sama juga ditegaskan oleh St. Agustinus yang mengatakan “I would not believe the Gospel, had not the authority of the Catholic Church led me to do so”[9]

Jika kita melihat sejarah, maka kita dapat melihat bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon/ Chalcedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh banyak konsili sampai Konsili Trente (1545- 1563). Maka Gerejalah, atas ilham Roh Kudus, yang menentukan kitab- kitab mana saja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat termasuk dalam Kitab Suci. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15, yaitu bahwa Gereja-lah (bukan Kitab Suci) yang menjadi tiang penopang dan tonggak kebenaran. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat

Saat terjadinya krisis dalam jemaat di sekitar tahun 40-an, kitab Perjanjian Baru belum ada, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel 12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15)

Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan.

Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan pemberitaan Firman Allah (melalui pendengaran) yang disampaikan oleh para rasul adalah Tradisi Suci.

III. Prinsip untuk menginterpretasikan Kitab Suci

1. Cara umum:

Konsili Vatikan II mengajarkan tiga cara umum untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya:[10]

1. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci.

2. Membaca Kitab Suci dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja.

3. Memperhatikan “analogi iman”.

a. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci

Kita harus mengartikan ayat tertentu dalam Kitab Suci dalam kaitannya dengan pesan Kitab Suci secara keseluruhan. Mengartikan satu paragraf atau bahkan satu kalimat saja namun tidak memperhatikan kaitannya dengan ayat yang lain, dapat berakibat fatal. Contohnya, seorang atheis mengutip Mzm 14:1, dan berkata “Tidak ada Allah”. Tetapi sebenarnya, keseluruhan kalimat itu berkata, “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah”. Maka arti yang disampaikan dalam Kitab Suci tentu sangat berbeda dengan pengertian orang atheis tersebut.

b. Membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja

Banyak ahli Kitab Suci di jaman modern yang tidak mengindahkan interpretasi yang berakar dari tradisi Gereja. Mereka berpikir seolah-olah baru pada saat mereka menginterpretasikan Kitab Suci, Roh Kudus memberikan pengertian yang paling “asli”, sedang interpretasi pada abad- abad yang lalu itu keliru. Sikap ini tentunya tidak mencerminkan kerendahan hati. Gereja mengajarkan bahwa kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan Tradisi hidup seluruh Gereja, sebab “Kitab suci lebih dulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit)”.[11] Di dalam Tradisi Suci inilah Roh Kudus menyatakan kenangan yang hidup tentang Sabda Allah dan interpretasi spiritual dari Kitab Suci. Tradisi Suci tercermin dari tulisan Para Bapa Gereja, dan ajaran- ajaran definitif yang ditetapkan oleh Magisterium, seperti yang dihasilkan dalam Konsili-konsili, Bapa Paus maupun yang dijabarkan dalam doktrin Gereja.

c. Memperhatikan “analogi iman”

Analogi iman maksudnya adalah bahwa wahyu Allah berisi kebenaran- kebenaran yang konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Gereja Katolik percaya bahwa Roh Kudus yang meng-inspirasikan Kitab Suci adalah Roh Kudus yang sama, yang membimbing dan menjaga wewenang mengajar Gereja (Magisterium), yang juga bekerja dalam Tradisi Suci Gereja. Maka tidak mungkin ajaran Gereja Katolik bertentangan dengan Kitab Suci, karena Roh Kudus tidak mungkin bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Juga, karena Gereja menjaga kemurnian ajaran dalam Kitab Suci, maka untuk meng-interpretasikan Kitab Suci, kita harus melihat kaitannya dengan ajaran/ doktrin Gereja.

Analogi iman yang berdasarkan ajaran Gereja berperan sebagai “penjaga” yang membantu kita agar kita tidak sampai salah jalan dalam meng-interpretasikan Kitab Suci. Ibaratnya, seperti pagar yang membatasi rumah kita dengan dunia luar yang penuh dengan anjing galak. Di dalam halaman rumah, kita tetap dapat beraktivitas, anak-anak dapat bermain dengan bebas, namun aman dari bahaya. Maka dengan berpegang pada ajaran Gereja, kita tetap mempunyai kebebasan dalam menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci, namun kita dapat yakin bahwa interpretasi kita tidak salah, ataupun tidak bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan. Keyakinan ini merupakan karunia yang diberikan kepada kita, jika kita setia berpegang pada pengajaran Gereja yang disampaikan oleh Magisterium (Wewenang mengajar Gereja). Magisterium inilah yang bertugas menginterpretasikan Sabda Allah dengan otentik, baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan (Tradisi Suci), dengan wewenang yang dilakukan dalam nama Tuhan Yesus[12] agar Sabda itu dapat diteruskan sesuai dengan yang diterima oleh para rasul.

2. Menghindari dualisme hermenetik sekular/ ‘secularized hermeneutic’ dan interpretasi fundamentalis/“fundamentalist interpretation

Paus Benediktus XVI dalam ekshortasi apostoliknya, Verbum Domini menekankan dua kesalahan ekstrem yang tidak boleh dilakukan oleh umat Katolik dalam menginterpretasikan Kitab Suci. Dua kesalahan ini adalah hanya berdasarkan metoda sekular dan metoda fundamentalisme.

a. Metoda historical-criticism yang terpisah dari teologi

Metode sekular yang terpisah dari teologi ini menekankan sisi sejarah dari Kitab Suci, sehingga Kitab Suci hanya dilihat sebagai buku dari masa lampau yang tidak mempunyai kaitan dengan saat ini. Pendekatan yang ilmiah dengan mengesampingkan sisi-sisi Ilahi dari Kitab Suci membuat metode ini kehilangan apa yang menjadi dasar untuk mengerti Kitab Suci – yaitu iman – yang pada akhirnya menolak campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia.[13] Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II – dalam ensiklik Fides et Ratio – dan Paus Benediktus XVI menekankan harmoni antara iman dan akal budi. Menyandarkan metoda ilmiah dalam menginterpretasikan Kitab Suci tanpa dibarengi iman, mereduksi sisi Ilahi dari Kitab Suci menjadi buku sejarah atau hanya menjadi buku literatur biasa. Sebagai contoh: Ketika di Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus memberi makan lima ribu orang (Mt 14:15-21; Mk 6:34-44), maka metoda ini cenderung untuk mereduksi sisi Ilahi dari Kristus dan kemudian menjelaskannya dengan sesuatu yang lebih ilmiah, seperti orang-orang yang ada berkumpul mengeluarkan bekal masing-masing dan kemudian saling berbagi.

b. Metode fundamentalisme

Metode fundamentalisme mengambil kata demi kata di Kitab Suci dan menganggap kata demi kata dalam Kitab Suci adalah didikte oleh Tuhan tanpa melihat bahwa penulisan Kitab Suci senantiasa di dalam konteks sejarah pada waktu tulisan tersebut dibuat. Penolakan akan sisi sejarah dan juga penolakan akan Gereja sebagai pemberi interpretasi Kitab Suci yang otentik membuat metode ini menjadi sangat subyektif[14] yang mengarah bahwa interpretasi pribadinya sendiri adalah yang paling benar. Metoda ini juga dapat menyebabkan kegagalan untuk melihat Sabda Allah dalam konteks keseluruhan. Sebagai contoh, ketika Yesus mengatakan “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mt 24:36), maka metoda ini mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa Yesus memang tidak mengetahui kapan akhir dunia terjadi, tanpa melihat kompleksitas dari kodrat Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Karena mereka juga tidak mau melihat komentar Kitab Suci dari Bapa Gereja dan Magisterium Gereja, maka mereka akan mengeraskan hati bahwa interpretasi merekalah yang paling benar.

3. Ke-4 Prinsip menginterpretasikan Kitab Suci

Secara umum, Kitab Suci mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/ harafiah’ sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis.[15] Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

a. Arti literal/ harafiah.

Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah.”[16] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.

b. Arti alegoris

Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:

1. Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).

2. Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan gambaran kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7).

3. Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).

4. Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), roti manna (Kel 25:30), tongkat Harun sang imam(Ibr 9:4); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Imam Agung (Ibr 8:1).

c. Arti moral

Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam KItab Suci. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).

1. Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.

2. Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.

3. Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita.

d. Arti anagogis

Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah:

1. Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).

2. Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).

e. Hubungan antara ke-empat arti Kitab Suci

Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan tentang arti ke-empat arti Kitab Suci. “Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori; moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.”[17]

4. Contoh interpretasi Kitab Suci dengan menggunakan ke-4 prinsip

Maka semua kejadian di dalam Kitab Suci memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel 16).[18]

1. Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.

2. Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih berziarah di dunia ini.

3. Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb).

4. Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristipun akan berakhir pada saat kita masuk Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan dalam keadaan yang sebenarnya (1 Yoh 3:2).

5. Peran Gaya Bahasa dalam Kitab Suci

Seperti halnya pada karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Kitab Suci, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Kitab Suci, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Namun ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya:[19]

1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.

2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.

3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.

4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).

5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.

6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).

Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut:

1. Jika Kitab Suci jelas mengatakannya bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan, maka yang disampaikan tidak/ belum tentu terjadi. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.

2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.

3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 1:10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.

IV. Contoh- contoh ayat dan interpretasinya.

1. Ayat- ayat yang menunjukkan tipologis Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru

Bukan menjadi kebetulan bahwa lebih dari dua per tiga bagian dari Kitab Suci adalah Perjanjian Lama (Perjanjian Baru hanya sepertiga bagian). Ini menunjukkan bahwa Perjanjian Lama mengambil bagian yang cukup penting di dalam Kitab Suci, yang akhirnya dipenuhi di dalam Perjanjian Baru. Maka Perjanjian Baru (PB) perlu dibaca dalam terang Perjanjian Lama (PL) dan demikian pula sebaliknya.

Tipologi maksudnya adalah bahwa PL merupakan tanda/ tipe yang dipenuhi maknanya di dalam PB. Tipologi menerangkan bagaimana Kristus dan Gereja-Nya telah dinyatakan secara figuratif di dalam PL. Beberapa contoh yang cukup jelas adalah:

1. Dalam Yoh 3:14 Yesus sendiri mengajarkan bahwa “Ular [tembaga] yang ditinggikan di padang gurun” yang disebutkan dalam Bil 21:9 melambangkan penyaliban-Nya di gunung Golgota.

2. Dalam Mat 12:40, Yesus mengajarkan bahwa masa 3 hari Nabi Yunus berada di dalam perut ikan besar (Yun 1:17), merupakan gambaran dari 3 hari Yesus berada di dalam kubur, sebelum kebangkitan-Nya.

3. Dalam Luk 24:26-27, sewaktu Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, Ia sendiri menghubungkan isi Kitab Suci [Perjanjian Lama] yang digenapi di dalam diriNya sebagai Mesias yang menderita, wafat dan bangkit dengan mulia [dalam Perjanjian Baru].

4. Dalam 1Pet 3:19-21, Rasul Petrus menyatakan bahwa air bah pada jaman Nabi Nuh merupakan gambaran/ kiasan Pembaptisan.

5. Dalam Rom 5:14, Rasul Paulus menyebutkan bahwa manusia pertama Adam adalah “gambaran” dari Kristus, [dengan Kristus sebagai manusia sempurna]; sebab dosa datang karena Adam, dan keselamatan datang karena Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia.

6. Wahyu 11:19- 12:1-2: Bunda Maria sebagai Tabut Perjanjian Baru: Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu di Kitab Keluaran bab 25 sampai dengan 31, kita melihat bagaimana ’spesifik-nya’ Allah saat Ia memerintahkan Nabi Musa untuk membangun Kemah suci dan Tabut Perjanjian. Ukurannya, bentuknya, bahannya, warnanya, pakaian imamnya, sampai seniman-nya (lih. Kel 31:1-6), semua ditunjuk oleh Tuhan. Hanya imam (Harun) yang boleh memasuki tempat Maha Kudus itu dan ia pun harus disucikan sebelum mempersembahkan korban di Kemah suci (Kel 40:12-15). Jika ia berdosa, maka ia akan meninggal seketika pada saat ia menjalankan tugasnya di Kemah itu (Im 22:9). Hal ini menunjukkan bagaimana Allah sangat mementingkan kekudusan Tabut suci itu, yang di dalamnya diletakkan roti manna (Kel 25:30), dan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), dan tongkat imam Harun (Bil 17:10; Ibr 9:4). Betapa lebih istimewanya perhatian Allah pada kekudusan Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, karena di dalamnya terkandung PuteraNya sendiri, Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Imam Agung yang Tertinggi (Ibr 8:1)! (Lihat pula bagaimana Allah menguduskan Tabut Perjanjian Lama dalam 2 Sam 6:6-7, 1 Taw 13:9-10, dan juga perbandingan ayat 2 Sam 6:9; dengan Luk 1:43; 2 Sam 6:11 dengan Luk 1:56). Persyaratan kekudusan Bunda Maria -Sang Tabut Perjanjian Baru- pastilah jauh lebih tinggi daripada kekudusan Tabut Perjanjian Lama yang tercatat dalam Kitab Keluaran, Samuel dan Tawarikh itu. Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, harus kudus, dan tidak mungkin berdosa, karena Allah sendiri masuk dan tinggal di dalam rahimnya. Itulah sebabnya Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa oleh Allah.

2. Contoh ayat- ayat yang harus dilihat kaitannya dengan ayat- ayat lainnya, Tradisi Suci dan pengajaran Magisterium Gereja

a. Ayat- ayat tentang keselamatan

Ayat Yoh 3:16 mengatakan bahwa siapa yang percaya pada Yesus akan memperoleh hidup kekal, atau “diselamatkan”; lalu pada ayat Ef 2:8 ada perkataan “diselamatkan oleh iman”, maka ada banyak orang Kristen non- Katolik mengatakan bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan hanya oleh iman saja (saved by faith alone). Padahal ayat-ayat Kitab Suci yang lain memberikan pengajaran yang lebih menyeluruh, misalnya pada ayat Ef 2:8 sendiri dikatakan: “Karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman”, sehingga di sini saja kita tahu bahwa bukan hanya iman yang menyelamatkan kita. Ayat yang lain mengajarkan iman yang menyelamatkan itu “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Artinya kita harus melakukan perintah Tuhan agar dapat diselamatkan (Mat 19:17), dan perintah ini adalah hukum kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31). Kitab Suci juga mengajarkan bahwa -keselamatan dalam Kristus diperoleh dengan iman melalui pertobatan dan pembaptisan dalam nama-Nya, demi penebusan dosa (Kis 2:38-41). Rasul Yakobus, bahkan dengan jelas mengatakan bahwa kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan kita dan bukan hanya karena iman (Yak 2:24). Kristus sendiri menyatakan bahwa agar seseorang dapat masuk dalam Kerajaan Allah (diselamatkan), ia harus dilahirkan kembali dengan air dan Roh (Yoh 3:5). Dengan demikian, untuk mengetahui gambaran yang menyeluruh tentang keselamatan, maka kita harus melihat Kitab Suci secara keseluruhan.

Oleh karena itu, Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian:

1. KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, …Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya.

2. KGK 1815 Anugerah iman tinggal di dalam dia yang tidak berdosa terhadapnya (Bdk. Konsili Trente: DS 1545). Tetapi “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26) Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya.

3. KGK 1816 Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya; Semua orang harus “siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja ” (LG 42, Bdk. DH 14). Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga” (Mat 10:32-33)

b. Ayat- ayat yang menyebutkan adanya ‘saudara- saudara’ Yesus.

Perikop Luk 8:19-21 atau juga Mat 12:46-50, Mrk 3:31-35, memang berjudul: Yesus dan sanak saudara-Nya. Bahkan dalam Mat 13:55 dan Mrk 6:3 disebutkan nama saudara- saudara-Nya itu yaitu: Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon. Oleh karena itu ada banyak orang menyangka bahwa Yesus mempunyai saudara- saudara kandung, atau artinya Bunda Maria mempunyai anak- anak lain selain Yesus. Namun tentu ini tidak benar!

Di dalam Kitab Suci, istilah “saudara” dipakai untuk menjelaskan banyak arti. Kata “saudara” (dari kata Yunani, ‘adelphos’ ) memang dapat berarti saudara kandung, namun dapat juga berarti saudara seiman (Kis 21:7), saudara sebangsa (Kis 22:1), ataupun kerabat, seperti pada kitab asli bahasa Ibrani yang mengatakan Lot sebagai saudara Abraham (Kej 14:14), padahal Lot adalah keponakan Abraham.

Jadi untuk memeriksa apakah Yakobus dan Yusuf itu adalah saudara Yesus, kita melihat kepada ayat-ayat yang lain, yaitu ayat Matius 27:56 dan Markus 15:40, yang menuliskan nama-nama perempuan yang ‘melihat dari jauh’ ketika Yesus disalibkan. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf/ Yoses, dan ibu anak-anak Zebedeus (Mat 27:56); atau Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda, Yoses dan Salome (Mrk 15:40). Maka di sini, Kitab Suci menunjukkan bahwa Maria ibu Yakobus ini tidak sama dengan Bunda Maria. Maria ibu Yakobus dan Yoses (Yusuf) dicatat dalam Kitab Suci sebagai salah satu wanita yang menyaksikan penyaliban Kristus (Mat 27:56; Mrk 15:40) dan kubur Yesus yang kosong/ kebangkitan Yesus (Mrk 16:1; Luk 24:10)

Mungkin yang paling jelas adalah kutipan dari Injil Yohanes, yang menyebutkan bahwa yang hadir dekat salib Yesus adalah, Bunda Maria, saudara Bunda Maria yang juga bernama Maria yang adalah istri Klopas, dan Maria Magdalena (Yoh 19:25). Jadi di sini jelaslah bahwa Maria (saudara Bunda Maria) ini adalah istri Klopas/ Kleopas, yang adalah juga ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses. Kleopas adalah salah satu dari murid-murid Yesus yang berjalan ke Emmaus dan mengalami penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:18).

Kesimpulannya, Yakobus dan Yoses ini bukanlah saudara kandung Yesus.

Selanjutnya, kita juga melihat bahwa Tradisi Suci mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Perawan selamanya, sehingga dengan demikian Yesus tidak mempunyai saudara- saudari kandung:

1. St. Ignatius dari Antiokhia (meninggal tahun 110), Origen (233), Hilarius dari Poiters (m. 367) dan St.Gregorius Nissa (m. 394), mengajarkan tentang keperawanan Bunda Maria.[20]

2. Tertullian (213), “Dan sungguh, ada seorang perawan… yang melahirkan Kristus, supaya semua gelar kekudusan dapat dipenuhi di dalam diri orang tua Kristus, melalui seorang ibu yang adalah perawan dan istri dari satu orang suami.”[21]

3. St. Athanasius (293-373) menyebutkan Maria sebagai Perawan selamanya/ Ever Virgin.[22]

4. St. Epifanus (374): Allah Putera …. telah lahir sempurna dari Maria suci dan tetap Perawan oleh Roh Kudus….”[23]

5. St. Hieronimus/ Jerome (347- 420) tidak hanya menyebutkan keperawanan Maria, tetapi juga keperawanan Yusuf.[24]

6. St. Agustinus dan St. Ambrosius (415), mengajarkan keperawanan Maria sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus Kristus, sehingga Maria adalah perawan selamanya.[25]
“Dengan kuasa Roh Kudus yang sama, Yesus lahir tanpa merusak keperawanan Bunda Maria, seperti halnya setelah kebangkitan-Nya, Dia dapat datang ke dalam ruang tempat para murid-Nya berdoa, tanpa merusak semua pintu yang terkunci (Lih. Yoh 20:26).”[26] Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari mati adalah Roh Kudus yang sama yang membentuk Yesus dalam rahim Bunda Maria. Maka kelahiran Yesus dan kebangkitan-Nya merupakan peristiwa yang ajaib: kelahirannya tidak merusak keperawanan Maria, seperti kebangkitan-Nya tidak merusak pintu yang terkunci.
Selanjutnya, St. Agustinus mengajarkan, “It is not right that He who came to heal corruption should by His advent violate integrity.” (Adalah tidak mungkin bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan korupsi/kerusakan, malah merusak keutuhan pada awal kedatangan-Nya.”[27]

7. St. Petrus Kristologus (406- 450): “Sang Perawan mengandung, Sang Perawan melahirkan anaknya, dan ia tetap perawan.”[28] Paus St. Leo Agung (440-461) :“a Virgin conceived, a Virgin bare and a Virgin she remained.- [Ia adalah seorang Perawan yang mengandung, Perawan melahirkan, dan ia tetap Perawan.”[29]. St. Yohanes Damaskinus (676- 749) juga mengatakan hal yang serupa: "Ia yang tetap Perawan, bahkan tetap perawan setelah kelahiran [Kristus] tak pernah sampai akhir hidupnya berhubungan dengan seorang pria… Sebab meskipun dikatakan Ia [Kristus] sebagai yang ’sulung’…. arti kata ’sulung’ adalah ia yang lahir pertama kali, dan tidak menunjuk kepada kelahiran anak- anak berikutnya.”

Atas dasar Tradisi Suci tersebut, maka Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang keperawanan Maria:

1. Maria adalah Perawan, sebelum, pada saat dan sesudah kelahiran Yesus Kristus (De fide).[30]
Konsili Konstantinopel II (553) menyebutkan Bunda Maria sebagai, “kudus, mulia, dan tetap-Perawan Maria”.[31]

2. Konsili ini merangkum ajaran-ajaran penting sehubungan dengan ajaran bahwa Yesus, adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Termasuk dalam ajaran ini adalah ajaran tentang keperawanan Maria; karena kelahiran Yesus dari seorang Perawan adalah salah satu bukti keilahian-Nya. Selanjutnya, pemahaman tentang Maria dikuduskan Allah diperoleh dengan memahami perbandingannya dengan Tabut Perjanjian di Perjanjian Lama. Jika Tabut Perjanjian Lama saja begitu dikuduskan Allah, betapa Allah akan lebih lagi secara istimewa menguduskan Maria, Tabut Perjanjian Baru, yang mengandung dan melahirkan Kristus, Sang Sabda yang telah menjadi daging, Sang Roti Hidup dan Sang Imam Agung. Sinode Lateran (649) di bawah Paus Martin I mengatakan:

“Ia [Maria] mengandung tanpa benih laki-laki, [melainkan] dari Roh Kudus, melahirkan tanpa merusak keperawanannya, dan keperawanannya tetap tidak terganggu setelah melahirkan.” (D256)

Maka keperawanan Maria termasuk 1) keperawanan hati, 2) kemerdekaan dari hasrat seksual yang tak teratur dan 3) integritas fisik. Namun doktrin Gereja secara prinsip mengacu kepada keperawanan tubuh/ fisik Maria.[32]

Maria mengandung dari Roh Kudus, tanpa campur tangan manusia (De fide)
Ini sesuai dengan kabar gembira yang disampaikan oleh malaikat Gabriel (lih. Luk 1: 35). Maria mengandung dari Roh Kudus dinyatakan dalam Syahadat Aku Percaya, “Qui conceptus est de Spiritu Sancto.” (D 86, 256,993)

Maria melahirkan Putera-Nya tanpa merusak keperawanannya (De fide)
Keperawanan Maria pada saat melahirkan Yesus termasuk dalam gelar, “tetap perawan” yang diberikan kepada Maria oleh Konsili Konstantinopel (553) (D214, 218, 227). Doktrin ini diajarkan oleh Paus Leo I dalam Epistola Dogmatica ad Flavianum (Ep 28,2), disetujui oleh Konsili di Kalsedon, dan diajarkan dalam Sinode Lateran (649). Prinsipnya adalah ajaran dari St. Agustinus (Enchiridion 34) yang mengajarkan dengan analogi- Yesus keluar dari kubur tanpa merusaknya, Ia masuk ke dalam ruangan terkunci tanpa membukanya, menembusnya sinar matahari dari gelas, lahirnya Sabda dari pangkuan Allah Bapa, keluarnya pikiran manusia dari jiwanya.

Setelah melahirkan Yesus, Maria tetap perawan (De fide).
Konsili Konstantinopel (553) dan Sinode Lateran (649) menyebutkan gelar “tetap perawan”(D 214, 218, 227). St. Agustinus dan para Bapa Gereja mengartikan ayat yang disampaikan oleh Bunda Maria, “karena aku tidak bersuami (I know not man)” (Luk 1:34) (Douay Rheims Bible) adalah suatu ungkapan kaul Bunda Maria untuk hidup selibat sepanjang hidupnya.

V. Lectio Divina

Walaupun pendekatan pengetahuan akan Tradisi Suci adalah sangat penting, namun pendekatan penghayatan Sabda dalam relasi pribadi dengan Tuhan juga tak kalah penting. Oleh karena itu, Bapa Gereja dan konsili-konsili Gereja mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa dalam membaca Kitab Suci. Lebih lanjut, Verbum Domini menekankan untuk membaca Kitab Suci dalam dialog dengan Tuhan[33]. St. Agustinus mengatakan “Your prayer is the word you speak to God. When you read the Bible, God speaks to you; when you pray, you speak to God”[34] Dengan demikian, orang yang membawa Sabda Allah dan merenungkannya di dalam doa, maka menjadi suatu percakapan yang begitu intim dan personal antara seseorang dengan Tuhan, yang pada akhirnya akan membaca seseorang pada kesempurnaan kehidupan Kristiani. Namun, dokumen yang sama mengingatkan agar kita tidak boleh terjebak pada interpretasi pribadi, namun harus teks-teks di dalam Kitab Suci harus senantiasa dimengerti dalam kesatuan dengan Gereja.

1. Pengertian

Tradisi Gereja Katolik mengenal apa yang disebut sebagai “lectio divina” untuk membantu kita umat beriman untuk sampai kepada persahabatan yang mendalam dengan Tuhan. Caranya ialah dengan mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita melalui sabda-Nya. “Lectio” sendiri adalah kata Latin yang artinya “bacaan”.[35] Maka “lectio divina” berarti bacaan ilahi atau bacaan rohani. Bacaan ilahi/ rohani ini terutama diperoleh dari Kitab Suci. Maka, lectio divina adalah cara berdoa dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci untuk mencapai persatuan dengan Tuhan Allah Tritunggal. Di samping itu, dengan berdoa sambil merenungkan Sabda-Nya, kita dapat semakin memahami dan meresapkan Sabda Tuhan dan misteri kasih Allah yang dinyatakan melalui Kristus Putera-Nya. Melalui lectio divina, kita diajak untuk membaca, merenungkan, mendengarkan, dan akhirnya berdoa ataupun menyanyikan pujian yang berdasarkan sabda Tuhan, di dalam hati kita. Penghayatan sabda Tuhan ini akan membawa kita kepada kesadaran akan kehadiran Allah yang membimbing kita dalam segala kegiatan kita sepanjang hari. Jika kita rajin dan tekun melaksanakannya, kita akan mengalami eratnya persahabatan kita dengan Allah. Suatu pengalaman yang begitu indah tak terlukiskan!

2. Empat hal dalam proses lectio divina

Meskipun terjemahan bebas dari kata lectio adalah bacaan, proses yang terjadi dalam lectio divina bukan hanya sekedar membaca. Proses lectio divina ini menyangkut empat hal, yaitu: lectio, meditatio, oratio dan contemplatio.[36]

a. Lectio

Membaca di sini bukan sekedar membaca tulisan, melainkan juga membuka keseluruhan diri kita terhadap Sabda yang menyelamatkan. Kita membiarkan Kristus, Sang Sabda, untuk berbicara kepada kita, dan menguatkan kita, sebab maksud kita membaca bukan sekedar untuk pengetahuan tetapi untuk perubahan dan perbaikan diri kita. Maka saat kita sudah menentukan bacaan yang akan kita renungkan (misalnya bacaan Injil hari itu, atau bacaan dari Ibadat Harian), kita dapat membacanya dengan kesadaran bahwa ayat-ayat tersebut sungguh ditujukan oleh Tuhan kepada kita.

b. Meditatio

Meditatio adalah pengulangan dari kata-kata ataupun frasa dari perikop yang kita baca, yang menarik perhatian kita. Ini bukan pelatihan pemikiran intelektual di mana kita menelaah teksnya, tetapi kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Allah, pada saat kita mengulangi dan merenungkan kata-kata atau frasa tersebut di dalam hati. Dengan pengulangan tersebut, Sabda itu akan menembus batin kita sampai kita dapat menjadi satu dengan teks itu. Kita mengingatnya sebagai sapaan Allah kepada kita.

c. Oratio

Doa adalah tanggapan hati kita terhadap sapaan Tuhan. Setelah dipenuhi oleh Sabda yang menyelamatkan, maka kita memberi tanggapan. Maka seperti kata St. Cyprian, “Melalui Kitab Suci, Tuhan berbicara kepada kita, dan melalui doa kita berbicara kepada Tuhan.” Maka dalam lectio divina ini, kita mengalami komunikasi dua arah, sebab kita berdoa dengan merenungkan Sabda-Nya, dan kemudian kita menanggapinya, baik dengan ungkapan syukur, jika kita menemukan pertolongan dan peneguhan; pertobatan, jika kita menemukan teguran; ataupun pujian kepada Tuhan, jika kita menemukan pernyataan kebaikan dan kebesaran-Nya.

d. Contemplatio

Saat kita dengan setia melakukan tahapan-tahapan ini, akan ada saatnya kita mengalami kedekatan dengan Allah, di mana kita berada dalam hadirat Allah yang memang selalu hadir dalam hidup kita. Kesadaran kontemplatif akan kehadiran Allah yang tak terputus ini adalah sebuah karunia dari Tuhan. Ini bukan hasil dari usaha kita ataupun penghargaan atas usaha kita. St. Teresa menggambarkan keadaan ini sebagai doa persatuan dengan Allah/ prayer of union di mana kita “memberikan diri kita secara total kepada Allah, menyerahkan sepenuhnya kehendak kita kepada kehendak-Nya.”[37]

Ke-empat fase ini membuat kelengkapan lectio divina. Jika lectio diumpamakan sebagai fase perkenalan, maka meditatio adalah pertemanan, oratio persahabatan dan contemplatio sebagai persatuan.

3. Bagaimana caranya memulai lectio divina

Karena maksud dari lectio divina adalah untuk menerapkan Sabda Allah dalam kehidupan kita, dan dengan demikian hidup kita diubah dan dipimpin olehnya, maka langkah-langkah lectio divina adalah sebagai berikut:

1. Ambillah sikap doa, bawalah diri kita dalam hadirat Allah. Resapkanlah kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Mohonlah agar Tuhan sendiri memimpin dan mengubah hidup kita melalui bacaan Kitab Suci hari itu.

2. Mohonlah kepada Roh Kudus untuk membantu kita memahami perikop itu dengan pengertian yang benar.

3. Bacalah perikop Kitab Suci tersebut secara perlahan dan dengan seksama, jika mungkin ulangi lagi sampai beberapa kali.

4. Renungkan untuk beberapa menit, akan satu kata atau ayat atau hal-hal yang disampaikan dalam perikop tersebut dan tanyakanlah kepada diri kita sendiri, “Apakah yang diajarkan oleh Allah melalui perikop ini kepadaku?”

5. Tutuplah doa dengan satu atau lebih resolusi/keputusan praktis yang akan kita lakukan, dengan menerapkan pokok-pokok ajaran yang disampaikan dalam perikop tersebut di dalam hidup dan keadaan kita sekarang ini.

6. Resapkanlah kehadiran Tuhan di sepanjang aktivitas kita sehari itu. Dengan kesadaran ini kita dapat selalu mengarahkan dan mempersembahkan segala sesuatu yang kita lakukan hari itu demi kemuliaan nama-Nya.

4. Contoh merenungkan Kitab Suci dengan lectio divina

Mari kita melihat bacaan Injil dari Mat 18:21-19:2. Di dalam perikop tersebut diceritakan perumpamaan tentang pengampunan. Pada saat kita merenungkan perikop ini, maka kita dapat bertanya pada diri sendiri, apakah yang Tuhan inginkan agar kita terapkan dalam kehidupan kita sehari hari?

Maka kita bisa membayangkan salah satu tokoh dalam perikop itu, misalnya, kita menjadi hamba itu yang berhutang sepuluh ribu talenta. Namun oleh belas kasihan raja [yaitu Tuhan], maka hutang hamba itu dihapuskan. Namun kemudian kita berjumpa dengan orang yang telah menyakiti hati kita, dan kita merasa sulit untuk mengampuni. Dengan demikian, kita bersikap seperti hamba itu, yang walaupun sudah diampuni dan dihapuskan hutangnya, namun tidak dapat/ sukar mengampuni orang lain. Mari dengan jujur melihat, apakah kita pun pernah atau sering bersikap seperti hamba yang tidak berbelas kasihan ini? Siapakah kiranya orang yang Tuhan inginkan agar kita ampuni? Tanyakanlah kepada Tuhan dalam hati, “Tuhan, tunjukkanlah kepadaku, adakah aku pernah bersikap demikian? Siapakah yang harus kuampuni…?

Sambil terus merenungkan ayat demi ayat dalam perikop tersebut, bercakap-cakaplah dengan Tuhan dalam keheningan batin. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan kita akan ayat ini, “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti Aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Jika ayat itu yang sungguh berbicara pada kita hari ini, maka kita mengingatnya dan mengulanginya kembali dalam hati, sebagai perkataan Tuhan yang ditujukan kepada kita. Dan semakin kita merenungkannya, semakin hiduplah perkataan itu di batin kita, dan bahkan kita dapat mendapat dorongan untuk menerapkannya.

Atau jika pada saat ini kita masih terluka atas perlakuan seseorang kepada kita, maka, kitapun dapat membawanya ke hadapan Kristus. Kita dapat pula menyatakan kepada-Nya, betapa kita ingin mengampuni, namun rasa sakit masih begitu mendalam dan nyata dalam hati kita. Maka, mungkin ayat yang berbicara adalah beberapa ayat sesudahnya yang berkata, “Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana.” (Mat 19:2). Kita dapat membayangkan bahwa kita berada di antara orang yang berbondong-bondong itu, dan memohon agar Ia menyembuhkan luka-luka batin kita. Biarlah ayat Mat 19:2 meresap dalam hati kita, dan kita ulangi berkali-kali sepanjang hari, “…. dan Tuhan Yesus-pun menyembuhkan luka-luka batinku di sana.” Biarkan jamahan Tuhan yang menyembuhkan banyak orang pada 2000 tahun yang lalu menyembuhkan kita juga pada saat ini. Dengan kita mengalami kesembuhan batin, maka sedikit demi sedikit Tuhan membantu kita untuk mengampuni, sebab kekuatan kasih-Nya memampukan kita melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita sebagai manusia.

Memang, pada akhirnya, lectio divina ini tidak akan banyak berguna jika kita berhenti pada meditatio/ permenungan, tapi tanpa langkah selanjutnya. Kita harus menanggapi apa yang Tuhan sampaikan lewat sabda-Nya, dan membuat keputusan tentang apakah yang akan kita lakukan selanjutnya, setelah menerima pengajaran-Nya. Maka langkah berikut, kita dapat mengadakan percakapan/ oratio yang akrab dengan Tuhan Yesus, entah berupa ucapan syukur, pertobatan, atau permohonan, yang semua dilakukan atas dasar kesadaran kita akan besarnya kasih Tuhan kepada kita. Kesadaran akan kasih Kristus inilah yang sedikit demi sedikit mengubah kita, dan mendorong kita untuk memperbaiki diri, supaya dapat mengikuti teladan-Nya, untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, terutama anggota keluarga kita sendiri: suami, istri, orang tua, dan anak-anak. Kasih-Nya ini pula yang membangkitkan di dalam hati kita rasa syukur, atas pengampunan dan pertolongan-Nya pada kita. Dengan memandang kepada Yesus, kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita sendiri, untuk menemukan hal-hal yang masih harus kita perbaiki, agar kita dapat hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid- murid-Nya.

Jika melalui lectio divina akhirnya kita mampu mengalahkan kehendak diri sendiri untuk mengikuti kehendak Allah, maka kita perlu sungguh bersyukur. Sebab sesungguhnya, ini adalah karya Roh Kudus yang nyata dalam hidup kita. Perubahan hati, atau pertobatan terus menerus yang menghantar kita lebih dekat kepada Tuhan dengan sendirinya mempersiapkan kita untuk bersatu dengan-Nya dalam contemplatio. Dalam contemplatio ini, hanya ada Allah saja di dalam hati dan pikiran kita. Kerajaan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kehendak-Nya sepenuhnya menjadi kehendak kita. “Jadilah padaku ya Tuhan, menurut kehendak-Mu….” Dan dalam keheningan dan kedalaman batin kita masuk dalam persatuan dengan Dia.

Jika arti doa yang sesungguhnya adalah “turun dengan pikiran kita menuju ke dalam hati, dan di sana kita berdiri di hadapan wajah Tuhan, yang selalu hadir, selalu memandang kita, di dalam diri kita,”[38]. Pandangan kepada Yesus ini adalah suatu bentuk penyangkalan diri, di mana kita tidak lagi menghendaki sesuatu yang lain daripada kehendak Allah. Dengan pandangan ini kita mempercayakan seluruh diri kita ke dalam tangan-Nya, dan kita semakin terdorong untuk mengasihi dan mengikuti Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita.

5. Apa buah-buah dari lectio divina?

Buah-buah dari lectio divina adalah compassio dan operatio[39]. Dengan persatuan kita dengan Tuhan, maka kita membuka diri juga untuk lebih memperhatikan dan mengasihi sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Kita juga didorong untuk melakukan tindakan nyata untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan, ataupun untuk selalu mengusahakan perdamaian dengan semua orang. Dengan demikian perbuatan kita menjadi kesatuan dengan doa kita, atau dengan perkataan lain kita memiliki perpaduan sikap Maria dan Martha (lih. Luk 10:38-42).

6. Mari, memulai perjalanan iman dengan lectio divina

Jika kita membaca pengalaman para orang kudus, kita mengetahui bahwa banyak dari mereka menerapkan lectio divina dalam kehidupan rohani mereka. Diakui bahwa perjalanan menuju contemplatio bukan sesuatu yang mudah, karena memerlukan disiplin dan kesetiaan kita untuk menyediakan waktu untuk berdoa. Namun demikian, sesungguhnya setiap orang dapat mulai menerapkan lectio divina ini dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak orang keliru jika berpikir bahwa membaca dan merenungkan Kitab Suci secara pribadi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu yang tingkat pendidikan yang tinggi tentang Kitab Suci. Kenyataannya, sebagian besar perikop Kitab Suci tidak sulit di-interpretasikan. Bahkan perikop yang mengandung ayat yang sulit sekalipun, akan tetap berguna untuk direnungkan. Maka sesungguhnya, tidak ada alasan bagi kita untuk malas membaca dan merenungkan Kitab Suci. Kita dapat menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk berdoa dan untuk menjadi penuntun sikap kita sehari-hari. Membaca atau menghafalkan ayat- ayat Kitab Suci adalah sesuatu yang baik, tetapi alangkah lebih baik jika kita meresapkannya dan membiarkan hidup kita terus menerus diubah olehnya. Tentu, ke arah yang lebih baik, agar kita semakin dapat mengikuti teladan Kristus Tuhan kita.

VI. Kesimpulan

Untuk memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15). Karena wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci dan keduanya berasal dari Allah, kita harus menerima dan menghormati keduanya dengan hormat yang sama[40].

Dengan demikian, Kitab Suci harus dibaca dalam terang Tradisi Suci, dengan memperhatikan analogi iman; dan interpretasi suatu ayat dalam Kitab Suci harus memperhatikan artinya dalam kesatuan seluruh Kitab Suci. Selanjutnya, di dalam hal iman dan moral, kita harus menginterpretasikan Kitab Suci dengan menempatkan pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah telah dipercayakan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci, karena Gereja mengajarkan kita agar kita rajin membaca Kitab Suci dan mempelajarinya, sebab melalui Kitab Suci kita dibawa pada ”pengenalan yang mulia akan Kristus” (Flp 3:8).[41] Ini adalah suatu tantangan buat kita semua yang mengatakan bahwa kita mengenal dan mengasihi Yesus.

Dengan menyadari bahwa penulisan Kitab Suci melibatkan Roh Kudus sebagai Penyebab (auctor) dan sang penulis Kitab, maka tidak dapatlah dikesampingkan faktor- faktor keilahian dalam Kitab Suci, maupun faktor latar belakang penulisnya. Dengan demikian harus dihindari kedua cara interpretasi ini: 1) yang meniadakan faktor keilahian dalam Kitab Suci, dan hanya menganggapnya sebagai buku sejarah (hermenetik sekular); dan 2) yang menganggap ketiadaan faktor latar belakang sejarah, dengan menganggap Kitab Suci sebagai hasil ‘dikte’ dari Roh Kudus tanpa ada keterlibatan sang manusia penulis (fundamentalisme). Dengan melihat adanya kerjasama antara ilham Roh Kudus dan manusia penulisnya, Kitab Suci diartikan dengan menggunakan empat prinsip; yaitu bahwa setiap ayat mempunyai makna literal (apa kejadiannya), allegoris (apa yang harus dipercaya), moral (apa yang harus dilakukan) dan anagogis (apa tujuan akhirnya). Di samping itu, untuk mengetahui keempat arti tersebut, peran gaya bahasa penulis Kitab sangatlah penting untuk dipahami.

Akhirnya, permenungan akan makna Sabda Tuhan dapat dilakukan dengan cara lectio divina, yang terdiri dari empat tahapan yaitu membaca Kitab Suci (lectio), merenungkannya (meditatio), berdoa (oratio), menghayati persatuan dengan Allah (contemplatio). Selanjutnya, buah yang ditunjukkannya adalah belas kasihan dan perbuatan baik (compassio dan operatio) yang membawa kepada pertumbuhan hidup rohani menuju kekudusan dalam persahabatan yang erat dengan Allah dan sesama.

O, Tuhan Yesus, tambahkanlah di dalam hatiku, kasih kepada-Mu; sehingga aku dapat setia menginginkan persahabatan dengan Engkau melalui doa dan Sabda.

Catatan: bahan ini diberikan untuk seminar tentang Kitab Suci di paroki St. Matias Cinere yang dihadiri anggota Kelasi (Keluarga Evangelisasi / Alumni KEP)


CATATAN KAKI:
  1. Tradisi Gereja mengajarkan bahwa wahyu umum berakhir dengan Kristus dan para rasulNya, maka sesudah itu tidak akan ada lagi pernyataan wahyu umum. Maka Paus Pius X mengecam mereka yang berpendapat bahwa akan ada lagi wahyu yang baru “New Revelations”, ataupun pendapat bahwa wahyu tersebut tidak berakhir dengan para rasul. (H. Denzinger 2021). KGK 66 mengutip Dei Verbum 4, mengatakan, “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus.” Namun KGK 67 melanjutkan, bahwa dalam peredaran waktu, terdapat apa yang disebut sebagai “wahyu pribadi”, yang beberapa diantaranya diakui oleh Gereja, namun tidak termasuk dalam perbendaharaan iman, sebab fungsinya bukan untuk menyempurnakan wahyu Kristus, tetapi untuk membantu umat beriman untuk menghayatinya lebih dalam lagi. []
  2. Wahyu umum yang tertera di Kitab Injil disampaikan dengan dua cara, seperti yang dikatakan dalam KGK 76: Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:

    Secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari.

    Secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.” []

  3. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 9, “Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.” Inilah definisi dari Kitab Suci []
  4. Dei Verbum 9, “….Oleh Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia.”
    Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci berasal dari sumber yang sama, sehingga harus dihormati dengan penghormatan yang sama. []
  5. Katekismus Gereja Katolik, 129; lih. Verbum Domini, 40-41 []
  6. lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK), 106 []
  7. lih. Verbum Domini, 52- 71 []
  8. lih. Verbum Domini, 29-30 []
  9. (Against the Letter of Mani Called ‘The Foundation’ 5:6 []
  10. lihat Katekismus Gereja Katolik KGK 112-114 []
  11. KGK 113, Dei Verbum 16 []
  12. Lihat Dei Verbum 10. []
  13. Verbum Domini, 35 []
  14. lih. Verbum Domini, 44 []
  15. lihat Katekismus Gereja Katolik, 115-117; lihat juga Verbum Domini, 37 []
  16. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, I, q10 ad 1 []
  17. Katekismus Gereja Katolik 118; dikutip juga dalam Verbum Domini, 37 []
  18. Untuk kebih lanjut mengenai ke-4 arti dalam Kitab Suci ini, silakan membaca buku karangan Mark P. Shea, “Making Sense Out of Scripture: Reading the Bible as the First Christians did (Rancho Santa Fe, CA: Basilica Press, 1999). []
  19. lihat Father Frank Chacon & Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, How to Read the Bible, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM, 2003) p. 24-25. []
  20. lihat Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p. 2-155 []
  21. Tertullian, On Monogamy, 8 []
  22. St. Athanasius, Discourses Against the Arians, 2, 70, Jurgens, Vol.1, n. 767a []
  23. St. Epiphanus, Well Anchored Man, 120 []
  24. St. Jerome, The Perpetual Virginity of Blessed Mary, Chap 21, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers (Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, original print by Herder and Herder, 1966) p. 358 []
  25. Lihat St. Augustine, Sermons, 186, Heresies, 56; Jurgens, vol.3, n. 1518 dan 1974d []
  26. St. Augustine, Letters no. 137., seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers, p. 360 []
  27. St. Agustinus, Serm. 189, n.2; PL 38, 1005 []
  28. St. Petrus Kristologus, Sermon 117 []
  29. Paus St. Leo Agung, On the Feast of the Nativity, Sermon 22:2 []
  30. lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, ed. James Canon Bastible, D.D, (Rockford, Illinois: TAN books and publishers, Inc. 1974) p.203 []
  31. Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, Mary in Scripture and the Historic of Christian Faith, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.2-155, Salah satu butir pengajaran untuk menjawab ajaran yang keliru tentang Bunda Maria di dalam Konsili Konstantinopel II, butir 6,“If anyone declares that it can be only inexactly and not truly said that the holy and glorious ever-virgin Mary is the mother of God, or says that she is so only in some relative way, considering that she bore a mere man and that God the Word was not made into human flesh in her, holding rather that the nativity of a man from her was referred, as they say, to God the Word as he was with the man who came into being; if anyone misrepresents the holy synod of Chalcedon, alleging that it claimed that the virgin was the mother of God only according to that heretical understanding which the blasphemous Theodore put forward; or if anyone says that she is the mother of a man or the Christ-bearer, that is the mother of Christ, suggesting that Christ is not God; and does not formally confess that she is properly and truly the mother of God, because he who before all ages was born of the Father, God the Word, has been made into human flesh in these latter days and has been born to her, and it was in this religious understanding that the holy synod of Chalcedon formally stated its belief that she was the mother of God: let him be anathema.” []
  32. lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, Ibid., p. 204 []
  33. lih. Verbum Domini, 86-87 []
  34. Expositions on the Psalms, 85, 7: PL 37, 1086. []
  35. 1. Lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, (New York: A Crossroad Book, 1998), p. 1 []
  36. Lih. Ibid., p. 57, 88 []
  37. St. Teresa of Avila, The Way of Perfection, text prepared by Kieran Kavanaugh, OCD, Washington DC: ICS Publication, 2000), p. 358. []
  38. Henri J.M. Nouwen, The Way of the Heart, (New York: Ballantine Books, 1991), p.59 maka contemplatio adalah puncak doa. Ini adalah saat di mana kita memandang Yesus dengan pandangan iman: “Aku memandang Dia dan Dia memandangku.” Katekismus Gereja Katolik 2715 []
  39. lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, Ibid., p. 89 []
  40. Lihat Katekismus Gereja Katolik, 82, “Dengan demikian maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Dei Verbum, 9 []
  41. Lihat Dei Verbum, 25, “Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8) []