Kamis, 22 Oktober 2009

Oleh-oleh dari Temu Penggerak Mudika Rayon Bantul 2008

Tindak lanjut Kongres
“He he he maaf, baru balas mas, ni baru bangun soale. Masih pegel gara-gara acara kemaren.”

Begitulah balasan sms dari Fanni (wah jan kesed tenan ! Jam 11 lagi tangi !), seorang penggerak Mudika Stasi Imogiri yang sehari sebelumnya mengikuti weekend penggerak Mudika Rayon Bantul di Somohitan, Sleman.

Tiga puluh penggerak Mudika se-Rayon Bantul pada Sabtu-Minggu, 5-6 Juli 2008 yang lalu menyelenggarakan Temu Penggerak Mudika Rayon Bantul. Kegiatan berlangsung di Panti Paroki Somohitan, Turi, Sleman. Kegiatan yang melibatkan para penggerak stasi dan wilayah ini bertujuan untuk membangun komunikasi dan koordinasi antar penggerak Mudika di Rayon Bantul. Sayangnya, kegiatan yang seharusnya melibatkan 3 paroki se-Kabupaten Bantul (Klodran, Ganjuran, dan Sedayu) ini hanya diikuti penggerak Mudika Ganjuran dan Klodran, mengingat situasi internal Mudika Sedayu yang memang mengalami kevakuman. Mudika Ganjuran dan Klodran mengirim para penggerak Stasi dan Wilayah untuk bersama-sama berproses dalam weekend sederhana ini.

Kegiatan ini dikoordinatori mas Roni Bagor (Ganjuran) dan merupakan tindak lanjut dari Kongres Mudika Kevikepan DIY 2008 yang dilaksanakan pada bulan April yang lalu. Sebelumnya, konsolidasi jaringan rayon juga telah dilaksanakan Mudika Rayon Kulon Progo di Stasi Pelem Dukuh, Nanggulan, 24-25 Mei 2008.

Game ! Game ! Game !

Setelah beristirahat dan menyesuaikan diri dengan wisma selama 45 menit, acara perkenalan pun dimulai dengan dipandu oleh dua cewek aseli Paroki Klodran, Mbak Tya dan Mbak Uut dengan nyanyian dan permainan-permainan. Lelah dengan Permainan “Kumis dan Garis” yang dengan corat-coret spidol di wajah membuat makin tak cakep muka sebagian peserta yang dari awalnya memang ndak cakep itu (he he he), permainan dilanjutkan dengan “Jual Diri”, yang mengingat potongan para peserta cowok sama sekali babar blas amat sangat ndak sebanding dengan peserta cewek, terpaksa para peserta cowok dijual murah-murahan 50 bila dibanding cewek yang 125.

Makin akrab sesi pun memasuki rangkaian proses inti dengan mencoba menggali harapan dan agenda bersama se-Rayon. Dalam diskusi muncul harapan untuk menjadikan Bantul sebagai trendsetter dalam dinamika Mudika se-DIY, yang paling menonjol di antaranya adalah menumbuhkan spiritualitas dan membangun komunitas visioner. Harapan yang membutuhkan tentu saja pengorganisasian, jaringan, dan agenda-agenda riil komunitas. Dalam diskusi sempat pula diuraikan secara singkat 4 nilai dasar pendampingan orang muda yang disepakati dalam pertemuan aktivis kaum muda KAS, Januari 2008 di Pasturan Sanjaya Muntilan : integritas, Solidaritas, Katolisitas, dan Keindonesiaan.

Bukan komunitas adalah, bukan organisasi proposal

Selewat makan malam acara dipertajam dengan diskusi yang menampilkan dua pembicara. Yang pertama adalah “penduduk lokal Paroki Somohitan” Rm. Suyatno, Pr., romo paroki tuan rumah, tetapi sekaligus aktivis sosial kemasyarakatan di DIY dan sekitarnya, mulai dari memutar dinamika dialog lintas iman di Yogyakarta melalui Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), menjaga lereng selatan Merapi, hingga mengkoordinasi bantuan bencana Aceh dan Gempa Yogya. Pembicara kedua adalah Bung Hasto, aktivis ’98 yang bersama rekan-rekannya mampu menghentikan putaran waktu bumi Mataram pada 20 Mei 1998 dengan aksi satu juta orangnya. Bersama dua pembicara ini para peserta diajak memperluas wawasan gerakan orang muda Katolik.

“Di somohitan malahan tidak ada Mudika. Yang ada adalah gerakan kaum muda yang berkumpul karena punya minat khusus, ada komunitas orang-orang muda yang aktif mendampingi adik-adik Sekolah Minggu, Ada komunitas yang mencarikan beasiswa bagi anak dari keluarga ekonomi lemah dan mendampingi mereka, ada mereka yang tergabung dalam relawan Merapi, ada kelompok yang saat ini bersama pemuda masjid sedang mencoba ngingu tombro. Ada juga yang aktif melalui FPUB. Ada juga kelompok-kelompok koor yang saat ini sedang gencar-gencarnya mengamen keliling kota-kota besar untuk pembangunan gereja (Paroki Somohitan saat ini memang sedang membangun gereja mereka yang baru).” Tutur Romo Yatno mengkisahkan bagaimana dinamika kaum muda Katolik di paroki yang menjadi tempatnya berkarya tersebut, yang memang dipadati komunitas-komunitas berbasis minat. Paroki Somohitan sendiri memang unik. Letaknya yang seperti terselip di rerimbunan kebun salak pondoh menjadikannya sering
luput dari perhatian orang. Namun letaknya di lereng Merapi membuatnya sangat politis mengingat kuatnya desakan pemda Sleman dan pemodal untuk terus mengeksploitasi alam Merapi. Desakan yang hanya bisa dihadapi dengan tiga isu : penguatan ekonomi setempat, penguatan ikatan sosial antar komunitas lokal, dan solidaritas bencana letusan Merapi. Dan tugas penjaga gunung inilah yang sepertinya sangat dihayati oleh Romo Yatno selama ini.

“Saya memang tidak berangkat dari keterlibatan menggereja, saya berangkat dari gerakan mahasiswa. Tetapi saya melihat sudah tiba waktunya rekan-rekan Mudika untuk bergerak keluar dari batas-batas tradisi gereja muda. Ada persoalan luas yang menuntut kita semua, dan sejatinya sudah disadari oleh para perintis Gereja Katolik Indonesia, seperti Rm. Sugiyapranata dengan 100% Katolik, 100% Indonesia-nya. Seruan ini sangat kuat, dan berbicara banyak tentang bagaimana seharusnya menjadi orang Katolik Indonesia.” Demikian kira-kira uraian Mas Hasto.

Romo Yatno selanjutnya juga menekankan dua hal, yang pertama aksi nyata, yang kedua jaringan. “ “Jangan terjebak dengan rapat-rapat, jangan jadi ‘organisasi proposal’. Hidup matinya tergantung proposal. Hidup matinya diserahkan pada dewan dan romo. Soal ‘aksi nyata’, wong keprihatinan kok cuma didiskusikan dan didefinisikan : ‘Kemiskinan adalah…’ ya pasti selesainya cuma di atas kertas. Cuma jadi “organisasi ADALAH”. Mulailah dari aksi nyata, buat proposal kalau memang dibutuhkan. Tetapi karya nyata itu yang pertama. Yang kedua soal ‘jaringan’. Yang sering saya alami sendiri, proposal dan formalitas itu nomor sekian, tetapi komunitas yang baik melalui jaringan itu yang akan sangat menentukan. Di situ kebutuhan dan tawaran bisa bertemu.”

Selepas diskusi, acara ditutup dengan presentasi singkat tentang tugas perutusan orang muda Katolik oleh Lilik. Acara ditutup dengan doa malam dengan drama singkat Mbak Tya dan Mbak Uut tentang pergulatan doa seorang muda.


Ziarah Sungai

Kegiatan pagi dimulai pukul 07.00 dengan misa pagi bersama umat paroki setempat, dilanjutkan dengan makan pagi dan outbond sederhana. Didampingi tim FPKM (Forum Penggerak Kaum Muda), sebuah paguyuban pendampingan dalam keluarga Mudika Kevikepan DIY, rekan-rekan Mudika Rayon Bantul diajak untuk membangun kebersamaan dalam susur sungai yang lelah tetapi mengasyikan. Di bawah rimbun kebun salak dan besar kecil batu-batu Merapi yang menjadi alas perjalanan, petualangan pun dimulai.

Dipandu Mbak Dian dan Mas Anton gedhe dari Paroki Medari, peserta dibagi dalam tiga kelompok, setelah membuat yel perjalanan pun dimulai. Masing-masing kelompok didampingi oleh Mas Tony Cool, Mas Christopher Wal, dan Lilik. Di pos pertama, “Wet Puzzle” Mbak Eta (Paroki Kumetiran), Mas Putro (Paroki Banteng), dan Mas Nono (Gunung Sempu) langsung mengajak para peserta menyelami semangat “berani terlibat, berani terjun, berani basah” dengan meminta peserta mencari potongan puzzle yang disembunyikan di bawah pasir di dasar sungai. Satu persatu puzzle tersusun dan membentuk gambar dan tulisan yang berbunyi : “Inilah dunia, milik Yesusku dan BapaNya, kita semua hanya menumpang di kamar-kamarnya. Gratis, tanpa ongkos sewa. Tugas kita adalah setia dalam KasihNya, penuh Pengharapan, dan Iman. Maka marilah membayarnya dengan hati yang tulus, hidup penuh kasih, untuk meluhurkan namaNya.”

Selewat pos pertama, peserta menelusuri sungai menuju utara. Batu-batu tajam yang berserak membuat peserta harus selalu berhati-hati. Setelah melewati beberapa kelokan, di dekat sebuah air terjun kecil, peserta sudah ditunggu Mas Seno (Pugeran) dengan “gentong bocor”nya. Seperti biasanya, pos ini selalu menuntut “totalitas” dalam karya dan kerjasama kelompok. Tak heran semua peserta harus merelakan bajunya untuk basah, terlebih peserta cowok yang mau tak mau harus bertelanjang dada, membiarkan baju-baju mereka dipergunakan menutupi semua lubang gentong. Siapa sih yang kurang kerjaan melubangi gentong dan ember ?

Menaiki tebing pinggiran sungai, peserta menyusuri jalan kecil di tepi kebun salak, melewati jalan kampung untuk bertemu dengan Mas Danang (Pugeran) yang sudah siap mengajak peserta menyusuri perjalanan buta. Dengan dipandu salah seorang peserta tertunjuk, peserta yang ditutup matanya diminta menyusuri selokan kecil dan terowongan rimbun daun-daun salak. Supaya lebih seru, hubungan peserta dan pemandu hanya dilakukan dengan kode warna untuk menunjukkan gerakan dan arah. Jadilah ditemukan betapa “kepemimpinan itu dua arah”, yang dipimpin dan yang memimpin, bukan hanya pemimpin yang punya tanggung jawab, tetapi anggotapun harus memahami dan mengikuti kode organisasi yang telah dibangun bersama.

Selepas pos “Kereta Linglung” ini, jalan menjadi berbahaya. Menuruni tebing, dan menyusuri sungai kedua ke arah selatan. Berbeda dengan sungai pertama, yang berbatu tetapi relatif landai, sungai kedua dipenuhi batu-batu besar dengan jalur lintasan yang sempit dan medan yang agak curam menurun. Belum lagi beberapa batang pohon yang tumbang melintang alur sungai dan beberapa guguran tanah dari sisi-sisi tebing sungai membuat perjalanan harus ekstra hati-hati.

Melewati pertemuan dua anak sungai, jalur sungai menjadi sedikit lebih nyaman, meski masih lebih berat dari sungai pertama. Di sebuah kedhung sungai sedalam dada, Mas Marji (Pugeran) dan Mbak Inez (Farmasi USD) telah menunggu. Peserta diajak menghayati “spirit persaudaraan di masa sulit” dengan bermain “benang bundhet” di kedalaman air. Tetapi agaknya “masa sulit” itu gagal diciptakan lantaran peserta ternyata lebih suka berendam berlama-lama di air, hingga membuat fasilitator bosan. Celakanya, Mas Anton imut (Pugeran) justru memanjakan nafsu narsis para peserta dengan jepretan kameranya.

Lepas bermain air di kedhung, peserta kembali menyusuri sungai. Sungai dengan cepat melebar dan tenang. Ini membuat kami semua bisa mengambil nafas sedikit lega. Di bawah jembatan sungai, sebuah lapangan “ranjau darat” terhampar. Mas Ayok dari Babarsari sudah siap dengan wajah chubby-nya. Kesabaran dan kesetiaan untuk belajar, keniscayaan untuk selalu membangun jalan kemajuan dengan menumpukan diri pada hal-hal positif yang telah dibangun generasi sebelumnya, sekaligus kerendahan hati seorang aktivis untuk berbagi perjuangan, itulah learning points pos ini.

Kami menaiki tepi dam untuk mencapai jembatan di ketinggian. Melintasi jembatan, menyusur jalan desa, kami dinantikan Mas Nono Komik (kegemaran : manga) yang mungil kembali muncul, kali ini dengan “pipeline”, memasukkan bola bekel dengan pipa pralon dan tali. Kemampuan koordinasi jelas sangat dibutuhkan di sini. Agak repot memang, karena tiap kelompok berkepala 8 bertangan 16, kalo rembugannya gagal, bisa-bisa jadi monster tuh !

Rute itu sebenarnya tak terlalu jauh. Permainan yang disuguhkan juga hanya sederhana, biarpun demikian, dibutuhkan waktu lebih dari enam jam bagi semua peserta untuk menyelesaikan perjalanan. Situasi medan dan obrolan di perjalanan yang membuatnya demikian, semoga cukup bisa merajut api dan darah persaudaraan.

Tentu saja disamping semua nilai-nilai luhur yang diperbincangkan pun, ada cukup banyak biaya yang harus dikeluarkan : pertama, basah di lereng Merapi di musim kemarau di mangsa Kasa berarti masuk angin, karena udara kering membuat cuaca sangat dingin, kedua, sandal bedhat dan celana sobek, dan ketiga, hampir semua peserta mengalami lecet-lecet, kecocok duri pohon salak, kram kecil, salah urat, ataupun jatuh kantep nan menyakitkan di bebatuan Merapi. Semoga biaya itu sepadan untuk menebus kebersamaan dan keutamaan-keutamaannya.


Semua Penggerak Satu Saudara

Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Peserta sudah makan siang dan mandi. Semua (hampir, kecuali beberapa oknum yang malas mandi) sudah wareg, cakep, cantik, dan wangi.

Acara penutup dipimpin oleh Mbak Tya untuk memilih tim kerja yang akan menemani Mas Sigit (Klodran) sebagai ketua presidium Rayon Bantul. Mas Eko dari Ganjuran dengan sukarela mengajukan diri sebagai wakilnya, disusul dengan dipilihnya seksi-seksi sebagai kelengkapan tim kerja. Setelah melalui perdebatan alot di sana-sini terpilihlah Mas Sigit (koordinator), Mas Eko (wakil), Prima (sekretaris), Katrin (bendahara), Ade-Roni Baros-Agus (minat bakat), Burham-Ardhi-Toni (humas internal), Rina-Toro (kerohanian), dan Yanto-Yanu-Uut (eksternal/sosial kemasyarakatan).

Sebelum doa penutup peserta diingatkan kembali dengan tiga hal : (1) How to build a cathedral, prinsip intergenerasional dari Gereja dan komunitas kecil kita sebagai bonum commune : menumpukan diri pada hal-hal positif yang telah dibangun generasi sebelumnya, meletakkan pijakan kokoh bagi generasi selanjutnya, (2) semua penggerak satu saudara, dan (3) sejatinya komunitas adalah perjuangan komunal dan bagian integral dari perjuangan hidup personal dari anggota-anggotanya, kepengurusan hanyalah fasilitator-katalisator.

Tak lama kemudian, dengan memohon pendampingan dari Ibu Dewi Maria, segenap peserta dan fasilitator melantunkan doa bersama. Mempersembahkan syukur atas proses yang telah berlangsung, mempersembahkan persaudaraan yang dibangun dalam rahmat kegembiraan, memohon berkat penyertaan bagi tim kerja Mudika Rayon Bantul yang baru, dan meminta karunia keselamatan dalam perjalanan.

Pukul lima sore, sesudah sebuah perjalanan sederhana dua hari satu malam, kami pun kembali pulang.

0 komentar:

Posting Komentar